Ada pribahasa “lain kepala, lain pemikiran”, nah
pribahasa itu sepertinya bisa di aplikasikan dalam olah raga mendaki gunung,
ada pula sebuah anonym “jika kita ingin melihat prilaku asli teman kita, maka
bawalah ke puncak sebuah gunung”, walaupun belum ada sebuah penelitian dan data
nayata pasti tentang sebuah anonym tersebut, namun percaya tidak percaya,
kebetulan atau memang begitu adanya, anonym tersebut tidak hanya Cuma isapan
jempol belaka. Terkait dengan pribahasa
di atas saya mempunyai pandangan tersendiri mengenai arti dari sebuah pendakian
gunung ataupun berpetualang di alam liar. di awal sebelum kita hendak mendaki, pastilah
kita sudah mempunyai rencana dari mulai kita melangkahkan kaki pertama sampai menuju
ke puncak dan sampai kembali ke tempat asal.
Satu hal yang perlu kita catat apabila melakukan sebuah perjalanan
ataupun petualangan di alam liar “kita tidak boleh sombong, merasa sudah banyak
pengalaman sehingga melupakan standar keamanan personal”, alam mempunyai
kekuatan dan karakternya tersendiri, dan dari suatu alam dengan alam lain
mempunyai perbedaan sendiri-sendiri walaupun sama-sama alam liar atau
hutan. Dalam mendaki sebuah gunung kita
bisa sampai ke puncak bukan berarti kita “sudah menaklukannya, karena saya
yakin tidak ada satu alam pun yang bisa ditaklukan oleh seorang manusia”
melainkan itu semua karena izin dan karunia sang pencipta, namun karena saking
angkuhnya sifat manusia, sehingga jarang sekali pendaki yang menyadari hal
tersebut. Saya yakin apapun agamanya,
tetap saja izin dan kesempatan dari Tuhanlah yang menentukannya, disertai doa
dan tekad kita yang kuat. Saat kita
melakukan pendakian ke sebuah gunung maka kita harus tahu larangan-larangan apa
saja yang tidak boleh dilakukan disana dan jangan lupa selalu ingat pada sang
pencipta serta jangan sesekali kita lupa untuk menunaikan kewajiban kita
terhadap Pencipta dimanapun kita sedang berada supaya tetap dilindungi
oleh-Nya. lengkapi standar operasional
pribadi (SOP) saat hendak mendaki jangan sombong karena sudah berpengalaman
sehingga mengabaikan SOP, alam sekarang susah ditebak mungkin karena efek dari
pemanasan global juga. Dimana bumi
dipijak maka disitu langit harus dijunjung, itulah ungkapan yang menurut saya
pas saat kita mendaki gunung ataupun saat melakuan sebuah perjalanan, karena
kita hendak mendaki gunung jadi tutur kata serta tingkah pun jangan disamakan
saat kita hendak akan pergi ke mall ataupun saat berada diterminal (berbagai
bahasa terkadang ada termasuk bahasa hewan).
Saya yakin mendaki gunung akan terasa lebih nikmat dan berkesan apabila
kita tetap mengikuti aturan-aturan yang berlaku saat mendaki gunung. Tujuan dalam mendaki gunung bukan hanya
sampai puncak saja, namun banyak hal yang bisa kita pelajari, mulai dari kawan
kita serombongan, rombongan orang lain, dan alamnya sendiri selama kita
mendaki. Memang tidak bisa dipungkiri kalau kita bisa sampai puncak dan
mendapatkan pemandangan yang indahnya luar biasa, senangnya bukan main apalagi kita bisa menikmati
keindahan itu semua bersama seluruh kawan serombongan kita. “kita melangkahkan
kaki bersama menuju puncak, kita sampai ke puncak dan menikmati keindahannya
bersama, dan kita turun dengan bahagia bersama”, kalimat itulah yang sering
saya bayangkan sebelum saya memulai mendaki.
Bagi saya kekompakan dan kelengkapan sebuah rombongan dalam sebuah
perjalanan mendaki gunung mulai dari bawah ke puncak sampai ke bawah lagi sudah
seperti sebuah kesatuan organ yang saling melengkapi. Terkait tentang sebuah anonym di atas, saya
meyakini kebenaran hal tersebut, walaupun secara teori mungkin belum ada
penelitian yang membuktikannya secara ilmiah.
Pengalaman selama beberapa kali saya mendaki gunung bersama
sahabat-sahabat saya, terkadang saya menemukan hal-hal atau sifat dari sahabat
saya tersebut saat mendaki gunung, padahal dalam kehidupan bisanya sifat
tersebut tidak Nampak. Misalkan dalam keseharian sifatnya cenderung manja,
namun ternyata saat saya mendaki gunung bersamanya malah dia terlihat sangat
kuat baik fisik dan mentalnya, sampai sifat manjanya tidak terlihat, ada juga
kejadian yang malah sebaliknya, jadi sebelum sampai puncak pun saya merasa
sifat-sifat yang tidak terlihat bila berada dibawah, namun ternyata bisa
terlihat saat menuju puncak, sifat-saifatnya tersebut tidak terlepas dari sifat
buruk dan sifat baiknya, selama kita bisa menyikapinya dengan bijak, dan tidak
mengganggu kekompakan tim, maka biarkanlah itu menjadi sebuah pengalaman, ya
namun sekiranya itu bisa memecah kekompakan tim, misalnya sifatnya yang egois,
mungkin disana kita harus menengahinya dengan bijak dan hati-hati, terutama
bila kita posisinya sebagai leader tim.
Bagi saya mendaki gunung bukan semata-mata
perjalanan fisik saja melainkan perjalanan mental dan spiritual juga, mendaki gunung tidak
hanya membutuhkan fisik tapi juga membutuhkan otak dan mental, tujuan mendaki
gunung bukan hanya mencapai puncaknya saja, kebersamaan, saling berbagi, saling
menjaga, saling menguatkan, dan saling mendukung merupakan bagian dari tujuan
mendaki gunung, kita naik gunung adalah untuk turun gunung kembali karena naik
gunung tidak sama dengan naik haji, yang tak pernah turun “tak ada pribahasa
atau kata-kata turun haji”, mendaki gunung adalah untuk menikmati keindahannya,
bukan untuk mengotorinya dengan sampah yang kita bawa, orang yang mengotori
gunung dengan sampah maka hidupnya tidak lebih baik dari sampah, mendaki gunung
adalah sebuah miniatur kehidupan kita dalam menuju cita-cita dan menggapai
impian kita, dalam sebuah perjalanan mendaki gunung pastilah ada yang namnya
halangan , rintangan, krikil, godaan, patah semangat, terjatuh, bangkit lagi,
terjatuh lagi (walaupun tak semuanya),namun tekad yang kuat akan tetap
mengokohkan semnagat kita, semakin sulit kita menggapai suatu puncak, maka
semakin indah pula yang dapat kita lihat dan kita rasakan dari puncak.