KAJIAN PREVALENSI KRIPTOSPORIDIOSIS
DAN SISTEM
MANAJEMEN PETERNAKAN SAPI
POTONG DI PETERNAKAN RAKYAT KABUPATEN CIANJUR
STUDY PREVALENCE OF
CRYPTOSPORIDIOSIS AND MANAGEMENT SYSTEM AT TRADITIONAL CATTLE
FARMING IN CIANJUR
Irwan Manshur Ahmad1,Umi Cahyaningsih2
1Mahasiswa
Program Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
2Staf Pengajar, Bagian Parasitologi Veteriner, Departemen IlmuPenyakit, Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan,
Institut Pertanian Bogor
ABSTRACT
Cryptosporidium sp. is a protozoan pathogen
that caused digestive tract illness, decreased productivity, and economic
losses. One of the districts with the greatest risk of cryptosporidiosis in
West Java is Cianjur. This study aimed to determine the prevalence of
cryptosporidiosis and the average number of oocysts of Cryptosporidium sp. by the age and sex of cattle on the Cianjur’s
tradional farming. This study used 81 samples taken from 34 farmers in
sub-district Agrabinta and Sindang Barang. The sample consisted of 32 calves
and 49 cattle. Cattle consisted of 63 cows and 18 bulls. Testing used floating stool test with sugar sheater and Ziehl Neelsen stain. The results were tested using logistic
regression and continued with T-test. The results showed that the prevalence of
cryptosporidiosis was 17.28 %. There is no significant differences (P >0.05)
of the average number of oocysts of Cryptosporidium
sp. by age and sex. From these results, reflecting the maintenance system,
light exposure into cage, cage cleaning frequency, and source of water used by
farmers has been quite good. From the results of logistic regression test,
animals in cages with ground pedestal has a 2.88 times higher risk of becoming
infected with Cryptosporidium sp.
compared with cattle in pens with cement pedestal. Therefore, farmers were
advised to use cement pedestal to reduce the prevalence of cryptosporidiosis .
Key words: cattle, Cianjur,
cryptosporidiosis, management, oocysts.
PENDAHULUAN
Cianjur merupakan salah satu Kabupaten
di Provinsi Jawa Barat yang
memiliki ternak sapi potong dengan populasi cukup tinggi. Kecamatan Agrabinta dan Sindang Barang
memiliki populasi ternak sapi tertinggi dan menjadi pusat pembibitan ternak sapi
potong di Kabupaten Cianjur. Banyak
hal yang harus dibenahi supaya populasi ternak tersebut tetap terjaga untuk mendukung program swasembada daging
sapi pada tahun 2014. Penurunan populasi ternak sering terjadi akibat adanya serangan
penyakit. Perbaikan dalam manajemen pemeliharaan perlu dilakukan untuk
mengurangi, dan menurunkan suatu penyakit
pada ternak. Serangan penyakit dapat
menyebabkan peningkatkan
biaya pengobatan, biaya
pemeliharaan, dan kematian pada infeksi
berat.
Penyebaran
suatu penyakit dapat dihentikan dengan mengetahui cara
penularan, siklus hidup, dan epidemiologi agen
penyakit.
Penyakit saluran pencernaan merupakan penyakit umum yang sering
ditemukan pada ternak, terutama pada umur beberapa bulan setelah lahir. Kerugian
langsung yang
dirasakan oleh peternak akibat penyakit saluran pencernaan adalah biaya
pengobatan, dan
kematian. Salah satu agen
patogen yang
dapat menyebabkan penyakit
saluran pencernaan adalah protozoa
dari genus Cryptosporidium sp. yang harus mendapat perhatian lebih karena
menghambat pertumbuhan ternak. Penyakit ini
juga dapat menular ke manusia dan dapat menimbulkan kematian ternak pada
infeksi yang berat. Protozoa
Cryptosporidium sp. merupakan
parasit obligat intraseluler dan bersifat sangat patogen. Infeksi protozoa ini secara klinis
ditandai dengan adanya diare dan dapat kronis pada kejadian imunodefisiensi. Penyakit ini ditularkan melalui makanan dan air minum yang
terkontaminasi oleh ookista dari Cryptosporidium
sp.
Penelitian ini bertujuan untuk
mengetahui tingkat prevalensi kriptosporidiosis dan rataan jumlah ookista Cryptosporidium
sp. pada
umur dan jenis kelamin sapi di peternakan rakyat Kabupaten
Cianjur. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi
dasar informasi untuk menurunkan prevalensi
kriptosporidiosis pada sapi potong sehingga dapat menjaga dan meningkatkan populasi ternak untuk mendukung
program swasembada daging sapi pada tahun 2014.
METODE
PENELITIAN
Waktu
dan Tempat Penelitian
Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai Juni 2013. Pengambilan sampel dilakukan di Kecamatan Agrabinta dan Kecamatan
Sindang Barang Kabupaten Cianjur, dan pemeriksaan sampel dilakukan di
Laboratorium Protozoologi,
Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas
Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
Prosedur
Penelitian
Pengumpulan
Data
Data diperoleh dari hasil
pemeriksaan sampel feses sapi potong dan pengisian kuisioner dilakukan oleh enumerator menggunakan metode wawancara langsung dengan peternak di peternakan
rakyat Kecamatan Agrabinta dan
Kecamatan Sindang Barang Kabupaten
Cianjur, Jawa Barat.
Pengambilan Sampel Feses
Sampel feses diambil langsung dari rektum sapi. Saat sampel tidak dapat diambil langsung,
maka sampel diambil dari feses segar yang baru dikeluarkan dan diambil bagian
atasnya. Sampel diberi identitas pada
plastik pembungkus, kemudian disimpan di dalam kotak pendingin yang berisi es
batu untuk dibawa ke laboratorium.
Ukuran Sampel
Populasi
target dari penelitian ini adalah sapi potong peternakan rakyat di Kabupaten
Cianjur, Jawa
Barat. Unit sampling yang digunakan adalah 81 ekor sapi potong dari 34 peternak. Sampel feses diambil dari
sapi potong dewasa (>12 bulan), dan anak (>6 sampai 12 bulan). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus:
Keterangan : N : Ukuran contoh
n* : Jumlah populasi ternak
n : Ukuran populasi sampel
p : Prevalensi dugaan
q : 1- Prevalensi dugaan
L : Tingkat kesalahan
Jumlah sampel yang digunakan dihitung
dengan asumsi sebagai berikut:
·
Sensitivitas uji 95%
·
Spesifitas uji 100 %
·
Prevalensi dugaan 20%
·
Tingkat kepercayaan 95%
·
Tingkat kesalahan 6%
Pemeriksaan
Sampel Feses
Pemeriksaan sampel dilakukan dengan teknik pengapungan menggunakan gula sheater. Sebanyak
1 gram sampel feses diencerkan dengan 14 ml aquades, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 1500
rpm/10 menit. Supernatannya dibuang dan sedimen yang tersisa ditambahkan dengan larutan gula sheater sampai volume menjadi 15 ml kemudian dihomogenkan.
Selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 1500
rpm/10 menit. Supernatannya diambil
untuk diperiksa di bawah mikroskop pembesaran 450 kali (Castro et al. 2002)
untuk melakukan identifikasi berdasarkan morfologi dan ukuran (Marcelo dan
Borges 2002).
Pewarnaan Sampel Feses
Preparat ulas
dibuat dari larutan gula sheather yang diteteskan pada gelas objek dan
dikeringkan di udara selama satu hari kemudian difiksasi diatas nyala api. Teteskan larutan Ziehl Neelsen A pada sediaan yang telah difiksasi dan lewatkan di
atas api bunsen beberapa kali sekitar 5–10 menit. Teteskan larutan Ziehl Neelsen B sampai pewarnaan terlihat pucat (pink), kemudian dicuci pada air mengalir dan keringkan di
udara. Proses selanjutnya, teteskan larutan Ziehl
Neelsen C sebanyak 2 tetes selama 2–3 menit, setelah itu dicuci dengan air
mengalir dan dikeringkan. Pengamatan dilalukan di bawah mikroskop perbesaran
1000 kali dengan minyak emersi. Masing-masing larutan Ziehl
Neelsen memiliki fungsi dan kandungan zat terlarut yang berbeda. Larutan Ziehl Neelsen A (carbol fuchsin) berfungsi sebagai pewarna utama. Larutan Ziehl Neelsen B (alkohol asam: HCL 3%
dalam metanol 95%), berfungsi sebagai peluntur. Ziehl Neelsen C (pewarna biru metilen) berfungsi sebagai pewarna latar.
Analisis data
Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode uji regresi logistik dan dilanjutkan dengan uji-t untuk
membandingkan rataan
jumlah ookista Cryptosporidium sp. dan prevalensinya berdasarkan jenis
kelamin dan umur sapi. Analisa
data menggunakan program SPSS 16.0 dan Microsoft Excel 2007.
HASIL DAN
PEMBAHASAN
Tingkat
Prevalensi Secara Umum
Tingkat
prevalensi kriptosporidiosis pada sapi di peternakan
rakyat Kabupaten Cianjur menunjukan angka 17.28% seperti terlihat pada Tabel 1. Suatu penyakit
muncul ketika terjadi perubahan keseimbangan pada segitiga epidemiologi yang
terdiri dari agen, host, dan lingkungan. Muhid et al. (2011) menyatakan bahwa manejemen pemeliharaan dapat
meningkatkan infeksi Cryptosporidium sp.
Sistem manajemen pemiliharaan yang merupakan faktor lingkungan terdiri dari:
alas kandang yang digunakan, paparan sinar matahari, sistem pemeliharaan, frekuensi pembersihan kandang, dan sumber air yang digunakan. Semua hal tersebut dapat
berkaitan terhadap transmisi ookista Cryptosporidium sp. Selain manajemen
pemeliharaan tingkat
infeksi Cryptosporidium sp.
dapat dipengaruhi oleh pencemaran lingkungan, suhu, kelembaban, dan geografis (Artama et al. 2002).
Pernyataan
tersebut dikuatkan OIE Terestrial Manual (2004) yang menyatakan ookista Cryptosporidium sp. dapat
bertahan hidup cukup lama pada lingkungan buruk, air, suhu dingin dan kondisi lembab. Manajemen
pemeliharaan dan sanitasi
kandang yang baik perlu
diterapkan pada peternakan,
untuk menurunkan prevalensi
kriptosporidiosis. Sistem manajemen pemeliharaan dan sanitasi kandang yang
diterapkan
oleh peternak sapi di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 2.
Tabel 1 Tingkat prevalensi kriptosporidiosis secara
umum di Kabupaten Cianjur
Kabupaten
|
Jumlah Sampel
|
Jumlah Sampel
Positif
|
Prevalesi (%)
|
||
Cianjur
|
81
|
14
|
17.28
|
||
Tabel 2
Sistem manajemen
pemeliharaan dan nilai Odds ratio
infeksi Cryptosporidium sp.
berdasarkan manajemen pemeliharaan
Manajemen Pemeliharaan
|
n
|
n*
|
Persentase (%)
|
P
|
OR
|
Alas kandang
-Semen
-Tanah
|
34
34
|
5
29
|
14.7
85.3
|
0.038
|
2.88*
|
Paparan sinar matahari pada kandang
|
34
|
32
|
94
|
0.181
|
0.74
|
Frekuensi pembersihan kandang
-Setiap hari
-Seminggu satu kali
|
34
34
|
33
1
|
97
3
|
1
|
0.00
|
Sumber Air
-Sumur gali
-Sungai, telaga/kolam
|
34
34
|
33
1
|
97
3
|
0.999
|
0.00
|
Sistem pemeliharaan
-Intensif
-Semi-intensif
-Ekstensif
|
34
34
34
|
2
10
22
|
6
29.30
64.70
|
||
Sistem pemeliharaan
-Intensif vs
semi-intensif
-Intensif vs
ekstensif
-Ekstensif vs
semi-intensif
|
0.999
0.999
0.317
|
2.08
1.14
1.82
|
Keterangan : uji
Regresi logistik;
*berbeda nyata (p<0 .05="" span=""> a
n ; jumlah
peternak, n*; jumlah pengguna, 0>
aP; P-value, OR; Odds
ratio
Ternak sapi yang ditempatkan pada kandang dengan alas semen
yaitu sebesar 14.7%, dan ternak yang ditempatkan dalam kandang dengan alas
tanah sebesar 85.3%. Castro et al. (2002) menyatakan bahwa ada perbedaan nyata dalam prevalensi kriptosporidiosis di peternakan
sapi dengan
alas semen dan alas tanah. Hasilnya
menunjukan risiko infeksi lebih tinggi
pada sapi yang ditempatkan
dalam kandang dengan alas tanah dibandingkan dengan sapi
yang ditempatkan dalam kandang dengan alas semen.
Pernyataan
tersebut dikuatkan oleh Muhid et al.
(2011) yang menyatakan bahwa faktor penyebab tingginya prevalensi
kriptosporidiosis adalah ternak yang ditempatkan pada kandang dengan alas
tanah. Alas tanah dapat
menyebabkan kondisi kandang menjadi lembab dan basah.
Kirk
(2011) menyatakan faktor-faktor seperti sinar
matahari, pH rendah
atau tinggi, pengeringan
dan suhu tinggi, dapat mengurangi
kelangsungan hidup patogen. Sinar
matahari yang masuk ke dalam kandang akan membantu menurunkan tingkat kebasahan
dan kelembaban kandang yang disebabkan adanya
penumpukan feses, urin, dan air. Paparan sinar matahari
ke dalam kandang (94%) yang diterapkan oleh peternak sudah tergolong baik
ditambah dengan adanya frekuensi
pembersihan kandang yang
teratur dapat mengurangi terjadinya penumpukan
kotoran. Cryptosporidium sp. peka
pada kondisi kandang yang lembab dan basah sehingga dapat
meningkatkan prevalensi kriptosporidiosis. Berdasarkan data kuisioner pada Tabel 2, peternak
yang membersihkan kandang ternaknya dengan frekuensi setiap hari adalah
sebanyak 97%.
Sumber air yang digunakan oleh peternak adalah sumur gali, air sungai, dan
air telaga atau kolam. Sebagian besar peternak (97%) menggunakan
air sumur gali (air tanah) untuk ternaknya, sedangkan
penggunaan
air sungai, air telaga atau air kolam
(air permukaan tanah) hanya sebagian kecil saja (3%) seperti tercantum pada
Tabel 2. Ookista Cryptosporidium sp. banyak ditemukan pada air permukaan. Ookista Cryptosporidium sp. telah
ditemukan di 4–100% pada sampel air permukaan yang diperiksa dengan konsentrasi mulai dari 1–10.000 ookista/100
liter, sedangkan keberadaan ookista pada air tanah
sangat rendah (Lisle dan Rose 1995). Berdasarkan data kuisioner (Tabel 2), penggunaan sumber air untuk ternak
pada peternakan sapi di Kabupaten Cianjur sudah tergolong baik. Hal ini tercermin
dari banyaknya peternak yang menggunakan sumber air tanah.
Sistem pemeliharaan sapi potong terdiri dari tiga,
yaitu dikandangkan terus-menerus (intensif), dilepaskan pada siang hari dan
dikandangkan pada malam hari (semi-intensif), dan dilepas/digembalakan terus
menerus (ekstensif). Penerapan sistem pemeliharaan yang baik akan berpengaruh
terhadap pertumbuhan ternak, dan tingkat prevalensi penyakit. Sistem pemeliharaan
yang banyak diterapkan oleh peternak di Kabupaten Cianjur yaitu : pemeliharaan secara
ekstensif (64.70%), pemeliharaan secara semi-intensif (29.30%), dan
pemeliharaan secara intensiif (6%). Muhid et
al. (2011) menyatakan, prevalensi kriptosporidiosis lebih tinggi ditemukan
pada peternakan dengan sistem pemeliharaan intensif.
Berdasarkan uji regresi logistik pada Tabel 2 faktor
manajemen pemeliharaan yang berasosiasi terhadap prevalensi kriptosporidiosis
pada sapi hanya alas kandang saja. Sapi yang ditempatkan dalam kandang dengan
alas tanah memiliki resiko terinfeksi Cryptosporidium sp. 2.88 kali lipat lebih
besar dibandingkan dengan sapi yang ditempatkan dalam kandang dengan alas
semen. Sedangkan manajemen pemeliharaan lainnya seperti paparan sinar matahari,
frekuensi pembersihan kandang, sumber air yang digunakan, dan sistem
pemeliharaan tidak berasosiasi terhadap prevalensi kriptosporidiosis.
Keberadaan
ookista diketahui melalui pemeriksaan natif sampel feses dengan teknik pengapungan menggunakan gula sheater, dan teknik pewarnaan Ziehl Neelsen. Sampel yang dinyatakan
positif mengandung ookista pada pemeriksaan natif, dilakukan pemeriksaan lanjut
dengan pewarnaan Ziehl Neelsen untuk
mengkonfirmasi ulang keberadaan ookista.
Pemeriksaan lanjut tersebut dilakukan untuk menghindari adanya positif
palsu. Casemor et al. (1985)
menyatakan teknik pewarnaan Ziehl Neelsen
dapat digunakan untuk mengkonfirmasi ulang keberadaan ookista. Teknik pengapungan menggunakan gula sheater, dan teknik pewarnaan Ziehl Neelsen dianjurkan untuk
pemeriksaan Cryptosporidium sp.
(Garcia 2001).
Tabel 3 Persentase
sapi terinfeksi Cryptosporidium sp. berdasarkan
jenis kelamin dan umur
Faktor
|
n
|
Positif
|
Persentase
(%)
|
Rataan jumlah sapi terinfeksi Cryptosporidium sp.
|
||
Umur
|
Anak
|
32
|
5
|
16
|
0.16±0.37
|
|
Dewasa
|
49
|
9
|
18
|
0.18±0.39
|
||
Jenis kelamin
|
Betina
|
63
|
11
|
17.46
|
0.17±0.38
|
|
Jantan
|
18
|
3
|
16.66
|
0.17±0.38
|
Keterangan : uji-t; *berbeda nyata (p<0 .05="" span="">, n; jumlah sampel
Prevalensi kriptosporidiosis
pada anak sapi 16%, dan prevalensi pada sapi dewasa 18% (Tabel 3), tetapi
secara statistika tidak ditemukan adanya
perbedaan yang nyata (P>0.05). Hasil ini berbeda dengan Faubert
dan Litvinsky (2000) yang menyatakan bahwa parasit Cryptosporidium sp. lebih
dominan menyerang pedet dan anakan dibanding dewasa, karena sistem kekebalan
pada ternak muda belum terbentuk sempurna. Tidak adanya perbedaan yang nyata
tersebut diduga karena peternak yang menerapkan sistem pemeliharaan
intensif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sistem pemeliharaan
semi-intensif dan ekstensif. Selain hal tersebut, faktor yang dapat menyebabkan
tinggi atau rendahnya prevalensi adalah derajat infeksi agen penyakit. Prevalensi kriptosporidiosis secara
nyata
ditemukan pada
hewan kurang dari satu bulan
(Sischo
et al. 2000; Huentink et al. 2001; Sturdee et al.
2003; Santyn et al.
2004).
Infeksi Cryptosporidium sp.
pada hewan yang lebih dewasa dapat menyebabkan infeksi dengan perkembangan yang
lambat, hal ini karena sapi dewasa dianggap sebagai reservoir dan dapat
terinfeksi secara asimptomatis (Misic et al.
2002).
Prevalensi kriptosporidiosis
pada sapi betina 17.46% dan pada sapi jantan 16.66% (Tabel 3). Secara
statistika kejadian kriptosporidios pada sapi betina dan jantan tidak berbeda
nyata (P>0.05). Prevalensi kriptosporidiosis pada hewan jantan
maupun hewan betina
memiliki kerentanan yang sama (Hamnes et
al. 2007). Hasil
penelitian ini (Tabel 3) sejalan dengan
hasil penelitian Nasir et al. (2009)
yang menyatakan tidak ada perbedaan yang nyata pada prevalensi infeksi Cryptosporidium sp. yang diamati pada sapi jantan dan sapi
betina. Hal ini diduga karena dipengaruhi oleh sistem
pertahanan tubuh yang dimiliki oleh sapi berdasarkan jenis kelamin memiliki
persamaan. Saat agen
patogen masuk ke dalam tubuh maka sistem pertahanan tubuh akan meresponnya.
Sistem pertahanan tersebut terdiri atas pertahanan tubuh bagian luar atau
fisik, sistem kekebalan bawaan, dan sistem kekebalan dapatan. Heine et al. (1984)
melakukan serangkaian uji coba tentang pentingnya sel T untuk pemulihan akibat
infeksi Cryptosporidium sp. yang
diuji cobakan pada mencit yang memiliki kelainan pada sel T. Mead
et al. (1992) melakukan serangkaian uji coba
dengan cara mengangkat dan mentransfer sel dari organ timus, limpa dan sumsum
tulang belakang yang berasal dari tikus liar ke mencit yang mempunyai kelainan sel T tersebut,
secara ekperimental membuktikan keberadaan
sel T, mampu mengeradikasi
infeksi yang ditimbulkan oleh Cryptosporidium sp. Tingginya prevalensi penyakit
pada salah satu jenis kelamin dapat disebabkan oleh faktor intrinsik, dan
faktor ekstrinsik (Ayinmode dan Benjamin 2010). Selain faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik keparahan kriptosporidiosis
dipengaruhi juga oleh derajat infeksi, sistem kekebalan, adanya infeksi
sekunder, nutrisi, dan peternakan (Olson et
al. 2004).
Rataan Jumlah Ookista Cryptosporidium
sp. Berdasarkan Umur Ternak dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen
Rataan jumlah ookista Cryptosporidium
sp. pada anak (>6 bulan–12 bulan)
dengan dewasa (>12 bulan) berdasarkan uji statistika yang disajikan pada
Tabel 4, tidak menunjukan perberbedaan yang nyata (P>0.05). Rataan jumlah ookista Cyptosporidium sp. yang tidak berbeda nyata mengindikasikan
umur sapi tidak mempengaruhi prevalensi kriptosporidiosis pada sapi. Ayinmode dan Benjamin (2010) menyatakan, tidak ada
perbedaan yang nyata (P>0.05) antara tingkat infeksi di anak
sapi dengan sapi dewasa. Duranti et al. (2008) menyatakan umur yang mempengaruhi
kejadian kriptosporidiosis secara nyata ditemukan pada sapi yang berumur dua
minggu setelah dilahirkan.
Tabel 4 Rataan jumlah
ookista Cryptosoporidium sp. berdasarkan umur
Umur
|
n
|
Rataan jumlah ookista Cyptosoporidium sp. per 10 lapang pandang per ekor sapi
|
Anak
|
5
|
12.2±9.4 a
|
Dewasa
|
9
|
7.8±4.7 a
|
Keterangan : n; jumlah sampel, uji t: huruf kecil superskrip yang sama menyatakan hasil tidak berbeda nyata (p>0.05)
Anak
sapi dengan induknya ditempatkan dalam satu kandang, diduga menjadi faktor
tidak adanya perbedaan yang nyata pada rataan jumlah ookista Cryptosporidium
sp.
berdasarkan tingkat umur.
Castro
et al. (2002) menyatakan pemisahan kandang
mengakibatkan anak sapi rentan
terhadap infeksi Cryptosporidium sp.
karena rendahnya kekebalan dan mudah
terinfeksi ookista melalui
pemberian pakan. Pemisahan kandang anak sapi dengan
induknya menjadi faktor nyata dalam
infeksi Cryptosporidium sp. sedangkan anak sapi yang dirawat
induknya akan terlindungi (Duranti et al.
2008).
Faktor kondisi
kandang dan sistem kekebalan tubuh yang dimiliki ternak dapat mempengaruhi
infeksi rataan jumlah ookista Cryptosporidium sp. Artama et al. (2005) menyatakan jumlah ookista pada
setiap hewan bervariasi. Hal
ini diduga karena faktor lingkungan dan imunitas ternak. Tinggi rendahnya
rataan jumlah ookista Cryptosporidium sp.
yang ditemukan pada ternak dapat mempengaruhi prevalensi kriptosporidiosis pada
suatu peternakan. Garcia
(2001) menyatakan jumlah ookista di
20 bidang yang dipilih secara
acak pada pembesaran 1000 kali dikategorikan menjadi
empat yaitu tidak ditemukan ookista dinyatakan negatif, 1–5 ookista dinyatakan positif namun kategori sedikit, 6–10 kategori
sedang, dan lebih dari 10 tergolong relatif tinggi. Rataan jumlah
ookista Cryptosporidium
sp. per 10 lapang
pandang per ekor sapi di Kabupaten
Cianjur dapat digolongkan ke dalam
kategori relatif tinggi.
Rataan Jumlah Ookista Cryptosporidium sp. Berdasarkan
Jenis Kelamin Ternak dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen
Tabel
5 Rataan jumlah
ookista Cryptosoporidium sp.
berdarkan jenis kelamin
Jenis
kelamin
|
n
|
Rata-rata
jumlah ookista Cryptosporidium sp. per 10 lapang pandang per ekor sapi
|
Betina
|
11
|
5.7±4.5a
|
Jantan
|
3
|
10.3±7.1a
|
Keterangan : n; jumlah sampel, uji-t; huruf kecil superskrip yang sama menyatakan hasil tidak berbeda nyata (p>0.05)
Rataan jumlah ookista Cryptosoporidium sp. pada jenis kelamin
berdasarkan uji statistika yang ditampilkan pada Tabel 5, tidak ditemukan
adanya perbedaan yang nyata (p>0.05). Rataan jumlah ookista Cryptosoporidium sp. yang tidak berbeda
nyata mengindikasikan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap prevalensi kriptosporidiosis
pada sapi. Nasir et al. (2009) menyatakan, tidak ada perbedaan yang nyata pada rataan infeksi Cryptosporidium sp. yang
diamati pada sapi jantan dan sapi betina. Rataan jumlah
infestasi parasit pada suatu ternak dapat diperangaruhi oleh adanya faktor
stres pada ternak yang dapat
menurunkan sistem imunitas. Bandini (2001) menyatakan bahwa banyaknya
jumlah parasit yang ditemukan pada salah satu jenis kelamin diduga karena faktor
stres pada sapi.
SIMPULAN
Tingkat prevalensi
kriptosporidiosis pada sapi di peternakan rakyat Kabupaten Cianjur menunjukan angka
17.28%. Rataan jumlah ookista Cryptosporidium
sp. tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata baik di tingkat umur ataupun jenis kelamin
sapi. Berdasarkan uji regresi logistik ternak yang ditempatkan dalam kandang
dengan alas tanah memiliki resiko terinfeksi Cryptosporidium sp. 2.88 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan
ternak yang ditempatkan dalam kandang dengan alas semen. Manajemen pemeliharaan
dan sanitasi kandang seperti, sistem pemeliharaan, paparan sinar matahari ke
dalam kandang, frekuensi pembersihan kandang, dan sumber air yang digunakan
untuk ternak sudah tergolong baik walaupun secara uji regresi logistik tidak menunjukan
adanya asosiasi.
SARAN
Berdasarkan
hasil penelitian penulis
menyarankan perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi
kriptosporidiosis pada sapi di peternakan
rakyat Kabupaten
Cianjur. Terutama faktor-faktor yang berkaitan
antara kejadian kriptosporidiosis pada umur dan jenis kelamin.
DAFTAR
PUSTAKA
Artama
K, Cahyaningsih U, Sudarnika E.
2005. Prevalensi Infeksi Cryptosporidium sp. pada
Sapi Bali di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Kabupaten Karangasem Bali
[Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
Ayinmode
BA, Benjamin OF. 2010. Prevalence of Cryptosporidium
infection in Cattle from South Western
Nigeria. Vet Archive. 80(6):723–731.
Bandini Y. 2001.
Sapi Bali. Jakarta (ID): Penebar Swadaya
Castro HJA, Gonjales LYA, Marzzs EA.
2002. Prevalence and risk factor invold in the spread of neonatal bovine cryptosporidiosis
in Galacia. Vet Parasitol. 106:1-10.
Casemore DP,
Armstrong M, Sands RL. 1985. Laboratory diagnosis of Cryptosporidiosis. J Clin Pathol. 38:1337–1341.
Duranti A,
Caccio SM, Pozio E, Edigio AD, Curtis MD, Battisi A, Scaramozzino P. 2008. Risk
faktor associated with Cryptosporidium sp.
infection in Cattle. Z Pub Health.
56(2009):176–182.
Faubert GM,
Litvinsky Y. 2000. Natural transmission of Cryptosporidium
sp. between dams and calves on a dairy farm. J Parasitol. 86(3):495–500.
Garcia LS. 2001.
Diagnostic Medical Parasitology 4th ed. Washington DC (US): ASM
Press. Di dalam : Ayinmode BA, Benjamin OF. 2010. Prevalence of Cryptosporidium Infection in Cattle from
South Western Nigeria. Vet Archive.
80 (6):723–731.
Hamnes IS, Gjerde BJ, Robertson LJ. 2007. A
longitudinal study on the occurrence of Cryptosporidium
and Giardia in dogs during their
first year of life. Acta Vet Scandinavica.
49:22.
Heine J, Moon HW,
Woodmansee DB. 1984.
Persistent Cryptosporidium infection
in congenitally athymic (nude) mice. Infect
and Immun.
43:856–859.
Huentink REC, Van der G, Noordhuizen JP,
Ploeger HW. 2001. Epidimiology of Cryptosporidium
sp. and Giardia
duodenalis on a dairy farm. Vet
Parasitol. 102:53–67.
Kirk JH. 2011. Pathogens in manure [Internet].
[diunduh 29 Agustus 2013]. Tersedia pada http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INF-DA/Pathog manure.pdf.University of California.
Lisle JT, Rose JB. 1995. Cryptosporidium contaminatin of water in
USA and UK. J Water Supply Res.
44:103–105.
Marcelo S, Borges
AS. 2002. Some Aspects of Protozoan Infection in Immunocompromised Patiens-A
Review. Mem Inst Oswaldo Cruz.
97(4):443–457.
Misic ZS,
Radovojevic R, Kusilic Z. 2002. Cryptosporidium
infection in wearers bull calves and posparturient cows in the Belgrade area. Acta Vet. 52(1):34–41.
Mead JR, Arrowood MJ, Healey MC, Sidwell
RW. 1991.
Cryptosporidial infections in SCID mice reconstituted with human or murine
lymphocytes. J of Protozool. 38:59S–61S.
Muhid A, Roberston I, Josephine NG, Ryan U. 2011. Prevalence of and
management factors contributing to Cryptosporidium
sp. Infection in pre-weaned and post-weaned calves in Johor, Malaysia. Exp Parasitol. 127:534–538.
Nasir A, Avais M, Khan MS, Ahmad N.
2009. Prevalence of Cryptosporidium sp. infection
in Lahore (Pakistan) and its association
with diarrhea dairy calves. Int J Agric
Biol. 11:221–224.
[OIE]
Office International des Epizooties Collaborating Center Iowa State University
College of Veterinary Medicine. 2004. Cryptosporidiosis. United State (US):
Iowa State University.
Olson ME,
O’handley RM, Ralston BJ, Mc.Allister TA, Thompson RC. 2004. Update on Cryptosporidium and Giardia infections
in cattle. Trends
Parasitol. 20:185–191.
Santyn M,
James M, Trout, Xiao L, Zhou L, Greiner E, Fayer R. 2004. Prevalence and age
related variation of Cryptosporidium sp. and genotypes in dairy calves. Vet Parasitol. 122:103–117.
Sischo WM, Atwill ER, Lanyon LE, George
J. 2000. Cryptospodian on dairy farms and the role these farms may have in
contaminating surface water supplies in the northeastern United State. Prev Vet Med. 43:253–267.
Sturdee AP, Bodley, Tickell AT, Archer
A, Chalmes RM. 2003. Long-term study of Cryptosporidium
prevalence on lowland farm in the United Kingdom. Vet Parasitol. 116:97–113.
0 komentar:
Post a Comment