#TheDreamTeam |
Chapter #1
Beberapa
hari yang lalu saya baru melewati masa pendidikan di bagian reproduksi, selama
satu bulan penuh saya beserta rekan-rekan saya melewati masa-masa yang indah. Kita
beranggotakan 19 orang, dan pada minggu pertama kita kedatangan teman yang
kebetulan pada saat itu ada pendidikan tambahan selama satu minggu. Tempat yang
sunyi nan roamtis ini memang agak sedikit jauh dari lingkungan perkampusan yang
memang penuh dengan hiruk pikuk kegiatan kemahasiswaan pada umumnya, tempat ini
memang berada di area pusat perkadangan ternak. Salah satu kegiatan dan
rutinitas yang kita lakukan tiap hari adalah belajar pemeriksaan kebuntingan
(PKB), belajar kawin suntik inseminasi buatan (IB), menampung sperma sapid an domba,
belajar ultrasonografi (USG) pada sapi dan domba, dan sempat beberapa kali demo
USG pada kuda. Itulah serangkaian kewajiban yang kita jalani selama sebulan
penuh disuatu tempat bernama Unit Rehabilitasi dan Reproduksi (URR), saya
pribadi sih lebih senang memplesetkan singkatan ini menjadi “Unit Romantisme
dan Realitasnya” (URR). Bagaimana tidak “Romantis” disini kita selain “belajar
keilmuan tetapi juga belajar keorganisasian” (kata-kata yang saya dengar
pertama kali dari dokter ligaya saat bicara 6 mata dengan beliau, dan sampai
sekarang kata-kata tersebut saya jadikan pedoman dalam menjalani kehidupan), nah
yang akan saya garis bawahi sebagai penanda kata “Romantis” disini adalah “keorganisasian”
nya. Kata “romantic” tidak harus melulu diaplikasikan pada sepasang muda mudi
yang sedang dimabuk asmara, tetapi kata “romantic” dapat diaplikasikan juga
dalam indahnya kebersamaan dalam sebuah pertemanan. Baiklah saya jelaskan
kenapa saya bersikukuh memakai kata “romantic” untuk menjabarkan keorganisasian
yang saya maksudkan. Dalam melakukan pemeriksaan kebuntingan (PKB) dan
melakukan Inseminasi buatan bukalah perkara mudah, pertama-tama kita harus
bersahabat dengan anus/rectum sapi, kedua kita harus bersahabat dengan baunya
kotoran/feses yang keluar, ketiga kita harus siap dikala apes kena sepakan
kakinya. Belum menginjak pada sesi pembelajaran intinya pun sudah sedemikian
agak beratnya. Setelah kita faham ketiga langkah tersebut kita harus bisa menemukan
yang namanya servix disanalah titik orientasi kita sebelum melakukan tindakan
ke tahap selanjutnya karena bagian servixlah yang ciri khasnya paling berbeda
dan relative lebih mudah dikenali karena cirinya yang keras, walaupun “realitasnya”
juga susah. kemampuan kita dalam melakukan interpretasi pun berbeda, disinilah
awal kata “Unit Romantisme dan Realitasnya” muncul. Ada beberapa kawan yang
sedikit kesulitan dalam menentukan titik orientasi saat melakukan PKB dan IB, da
nada juga kawan saya yang meneteskan air mata kebahagianya karena dia agak
telat bisanya, kebetulan pada minggu pertama hari ke 4 saya berada di kandang
saya sudah bisa melakukan IB dengan cukup baik. Dan hari-hari berikutnya sudah hampir
semua bisa melakukannya, yang saya kagumi disini adalah kemampuan kawan-kawan
saya dalam “mengorganisir” waktu, kemampuan, dan berbagi (saling mengajarkan)
dengan rekan-rekan yang memang kebetulan belum terlalu mahir. Bisa dibayangkan
ketika anda kesulitan menginterpretasiakn titik oreintasi, tangan anda susah
pegal namun tak kunjung menemukanya, dan secara gak sadar air mata pun turun
menghapus wajah anda yang kelelahan, tiba-tiba kawan anda dari belakang dengan
hati yang ihklas bersedia mengajarkanya, tangan anda dibimbing untuk menemukan
suatu titik orientasi yang bernama servix, walaupun tangan berlumuran feses dan
terkadang darah karena bagian mukosa dari rectum sedikit mengalami perlukaan. Tangan
anda dibimbing oleh tanganya sampai anda menemukanya dan anda bisa melakukanya
sendiri. Mungkin agak sedikit rancu, lebay, dan gak nyambung kata “organisme,
romantisme, dan realitisanya” dimix dijadikan satu cerita. Itulah yang saya
pelajari selama berada dikandang sapi, terkadang Sesutu yang tidak nyambung,
lebay, aneh, menjijikan bisa dijadikan sesatu yang bisa memiliki makna yang
lebih bernilai ketika kita menyesisipkan “keilmuan dan sentuhan organisir”. Walaupun
tangan yang membimbing adalah tangan lelaki dan tangan yang dibimbing juga
adalah tangan lelaki saya rasa tidak mengurangi nilai “keromanisanya”, saya
memandang salah satu makana dari “romantisme” itu sendiri adalah “keharmonisan”.
Jika orang tersebut mau membantu temanya yang lelaki secara seksama ya apalagi
membantu temanya yang wanita, itu bukanlah sautu kendala yang berarti. Suasana
indah itu berlanjut sampai pada hari terahir dimana kita di uji oleh dosen
untuk ujian akhir. Kisah romantisme dikandang tersebut pun dibalut oleh cerita
indahnya kebersamaan, disaat kita berada di kandang sapi, disana ada juga yang
namanya masa istirahat untuk sapinya dimana dalam masa istirahat si sapi
tersebut tidak boelh diganggu atau dipalpasi dan pada sapi istirahat maka sapi
tersebut harus diberi makan rumput. Selama jelang waktu tersebut atau masa
istirahat untuk melakukan palpasi kita sering sekali memesan makan dan minum ke
ibu-ibu yang memang suaminya bertugas di kandang sapi tersebut, jika dilihat
sepintas betapa joroknya kelakuan kita ini, makan minum dikandang sapi tepat
sekali dibelakang anus/rectum sapi,dan tak jarang disaat kita makan atau minum
si sapi malah kencing ataupun membung kotoranya, namun kita tak pernah
menghiraukanya dan terus melanjutkan makan minum. Terkadang memang hidup ini
kurang “Logis” namun apalah daya ketika kita mampu menyusukuri dan menikmati
masa ketidaklogisan tersebut ternyata bisa berubah menjadi sebuah kisah yang
sangat unik, dan sangat kita rindukan dikala kita meninggalkan keibiasaan itu. Ada
satu kata-kata “ICON” dikala kita berada di kandang sapi bersama-sama,
kebetulan dalam kelompok kita ada seorang ibu-ibu yang memang baru mengikuti
program pendidikan profesi, umurnya memang terpaut sekitar 10-11 tahun dengan
kita, dia memiliki sifat keibuan yang baik. Dikala kita melakukan palpasi tak
jarang rectum sapi berdarah dikarena salah dalam orientasi ataupun dalam
teknik. Dia selalu bilang ke kita semua “ulaaaah atuh heei ulaaah” (itu adalah Bahasa
sunda yang dalam Bahasa Indonesia artinya “jangan”) kasian sapinya. Karena intonasi
dan penyampaianya yang sedikit unik maka kata-kata “Ulaaah Atuuh” sudah menjadi
semacam “Icon” penting dan selalu hadir dalam setiap candaan kita. Suatu tindakan
yang kurang terpuji namun saya selalu merindukannya adalah ketika waktu luang
kita isi dengan bermain kartu foker, kebetulan saya memang senang bermain kartu
foker dan saya juga cukup mahir memainkannya. Bagi saya foker sudah seperti
jejak hidup foker selalu mengingatkan saya pada kenangan manis pahit saat harus
sabar menunggu dosen pembimbing saat mengerjakan tugas akhir S1, jadi wajarlah
jika saya memang sedikit memiliki kemampuan dalam bermain foker hahah (narsis).
Dua permainan yang sering kita mainkan dikala mengisi waktu istirahat pertama
bermain PES (hanya bagi yang bisa aja, say amah ga bisa,saya mah apalah atuh Cuma
anak kampung) dan kedua foker, untuk permainan foker ada beberapa wanita juga
yang bisa memainkanya. Sembari bermain foker enakanya minum es teh manis sambal
makan,menu andalah disini adalah indomie telor plus nasi buatan chep andah,
chep paling jago seantero URR hahah, walaupun terkadang bosan dijejali telor,
mie, telor mie tapi tetap aja pagi-pagi pesen mie, siangnya pesen nasi plus
telor, besoknya? Ya gitu lagi pesennya, haha memang ironis sih, namun kemampuan
mensyukuri apa yang ada menjadikan suatu keironisan menjadi suatu nikmat yang
luar biasa, bukan menjadi suatu kesedihan haha.
0 komentar:
Post a Comment