Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

TAUKAH ANDA APA ITU KRIPTOSPORIDIOSIS...???

  • Friday, January 10, 2014
  • mansyurahmad.blogspot.com
  • Label:
  • KAJIAN  PREVALENSI KRIPTOSPORIDIOSIS DAN SISTEM MANAJEMEN PETERNAKAN SAPI POTONG DI PETERNAKAN RAKYAT KABUPATEN CIANJUR

    STUDY PREVALENCE OF CRYPTOSPORIDIOSIS AND MANAGEMENT SYSTEM AT TRADITIONAL CATTLE FARMING IN CIANJUR

    Irwan Manshur Ahmad1,Umi Cahyaningsih2

    1Mahasiswa Program Sarjana Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
    2Staf Pengajar, Bagian Parasitologi Veteriner, Departemen IlmuPenyakit, Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor
                                                              ABSTRACT
    Cryptosporidium sp. is a protozoan pathogen that caused digestive tract illness, decreased productivity, and economic losses. One of the districts with the greatest risk of cryptosporidiosis in West Java is Cianjur. This study aimed to determine the prevalence of cryptosporidiosis and the average number of oocysts of Cryptosporidium sp. by the age and sex of cattle on the Cianjur’s tradional farming. This study used 81 samples taken from 34 farmers in sub-district Agrabinta and Sindang Barang. The sample consisted of 32 calves and 49 cattle. Cattle consisted of 63 cows and 18 bulls. Testing used floating stool test with sugar sheater and Ziehl Neelsen stain. The results were tested using logistic regression and continued with T-test. The results showed that the prevalence of cryptosporidiosis was 17.28 %. There is no significant differences (P >0.05) of the average number of oocysts of Cryptosporidium sp. by age and sex. From these results, reflecting the maintenance system, light exposure into cage, cage cleaning frequency, and source of water used by farmers has been quite good. From the results of logistic regression test, animals in cages with ground pedestal has a 2.88 times higher risk of becoming infected with Cryptosporidium sp. compared with cattle in pens with cement pedestal. Therefore, farmers were advised to use cement pedestal to reduce the prevalence of cryptosporidiosis .
    Key words: cattle, Cianjur, cryptosporidiosis, management, oocysts.
    PENDAHULUAN
    Cianjur merupakan salah satu Kabupaten di Provinsi Jawa Barat yang memiliki ternak sapi potong dengan populasi cukup tinggi. Kecamatan Agrabinta dan  Sindang Barang memiliki populasi ternak sapi tertinggi dan menjadi pusat pembibitan ternak sapi potong di Kabupaten Cianjur. Banyak hal yang harus dibenahi supaya populasi ternak tersebut tetap terjaga untuk mendukung program swasembada daging sapi pada tahun 2014.  Penurunan populasi ternak sering terjadi akibat adanya serangan penyakit. Perbaikan dalam manajemen pemeliharaan perlu dilakukan untuk mengurangi, dan menurunkan suatu penyakit pada ternak. Serangan penyakit dapat menyebabkan peningkatkan biaya pengobatan, biaya pemeliharaan, dan kematian pada infeksi beratPenyebaran suatu penyakit dapat dihentikan dengan mengetahui cara penularan, siklus hidup, dan epidemiologi agen penyakit.
    Penyakit saluran pencernaan merupakan penyakit umum yang sering ditemukan pada ternak, terutama pada umur beberapa bulan setelah lahir.  Kerugian langsung yang dirasakan oleh peternak akibat penyakit saluran pencernaan adalah biaya pengobatan, dan kematian. Salah satu agen patogen yang dapat menyebabkan penyakit saluran pencernaan adalah protozoa dari genus Cryptosporidium sp. yang harus mendapat perhatian lebih karena menghambat pertumbuhan ternak. Penyakit ini juga dapat menular ke manusia dan dapat menimbulkan kematian ternak pada infeksi yang berat. Protozoa Cryptosporidium sp. merupakan parasit obligat intraseluler dan bersifat sangat patogen. Infeksi protozoa ini secara klinis ditandai dengan adanya diare dan dapat kronis pada kejadian imunodefisiensi. Penyakit ini ditularkan melalui makanan dan air minum yang terkontaminasi oleh ookista dari Cryptosporidium sp.
    Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui tingkat prevalensi kriptosporidiosis dan rataan jumlah ookista Cryptosporidium sp. pada umur dan jenis kelamin sapi di peternakan rakyat Kabupaten Cianjur. Penelitian ini diharapkan dapat menjadi dasar informasi untuk menurunkan prevalensi kriptosporidiosis pada sapi potong sehingga dapat menjaga dan meningkatkan populasi ternak untuk mendukung program swasembada daging sapi pada tahun 2014.
    METODE PENELITIAN
    Waktu dan Tempat Penelitian
    Penelitian dilaksanakan pada bulan November 2012 sampai Juni 2013. Pengambilan sampel dilakukan di Kecamatan Agrabinta dan Kecamatan Sindang Barang Kabupaten Cianjur, dan pemeriksaan sampel dilakukan di Laboratorium Protozoologi, Departemen Ilmu Penyakit Hewan dan Kesehatan Masyarakat Veteriner, Fakultas Kedokteran Hewan, Institut Pertanian Bogor.
    Prosedur Penelitian
    Pengumpulan Data
    Data diperoleh dari hasil pemeriksaan sampel feses sapi potong dan pengisian kuisioner dilakukan oleh enumerator menggunakan metode wawancara langsung dengan peternak di peternakan rakyat Kecamatan Agrabinta dan Kecamatan Sindang Barang Kabupaten Cianjur, Jawa Barat.
    Pengambilan Sampel Feses
              Sampel feses diambil langsung dari rektum sapi.  Saat sampel tidak dapat diambil langsung, maka sampel diambil dari feses segar yang baru dikeluarkan dan diambil bagian atasnya.  Sampel diberi identitas pada plastik pembungkus, kemudian disimpan di dalam kotak pendingin yang berisi es batu untuk dibawa ke laboratorium.
    Ukuran Sampel
                Populasi target dari penelitian ini adalah sapi potong peternakan rakyat di  Kabupaten Cianjur, Jawa Barat. Unit sampling yang digunakan adalah 81 ekor sapi potong dari 34 peternak. Sampel feses diambil dari sapi potong dewasa (>12 bulan), dan anak (>6 sampai 12 bulan). Pengambilan sampel dilakukan dengan menggunakan rumus:
    Keterangan :    N  : Ukuran contoh
                            n*  : Jumlah populasi ternak
                            n   : Ukuran populasi sampel
                            p   : Prevalensi dugaan
                            q   : 1- Prevalensi dugaan
                            L   : Tingkat kesalahan

    Jumlah sampel yang digunakan dihitung dengan asumsi sebagai berikut:
    ·      Sensitivitas uji 95%
    ·      Spesifitas uji 100 %
    ·      Prevalensi dugaan 20%
    ·      Tingkat kepercayaan 95%
    ·      Tingkat kesalahan 6%

    Pemeriksaan Sampel Feses  
    Pemeriksaan sampel dilakukan dengan teknik pengapungan menggunakan gula sheater. Sebanyak 1 gram sampel feses diencerkan dengan 14 ml  aquades, selanjutnya disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm/10 menit. Supernatannya dibuang dan sedimen yang tersisa ditambahkan dengan larutan gula sheater sampai volume menjadi 15 ml kemudian dihomogenkan. Selanjutnya  disentrifugasi dengan kecepatan 1500 rpm/10 menit.  Supernatannya diambil untuk diperiksa di bawah mikroskop pembesaran 450 kali (Castro et al. 2002) untuk melakukan identifikasi berdasarkan morfologi dan ukuran (Marcelo dan Borges 2002).
    Pewarnaan Sampel Feses
    Preparat ulas dibuat dari larutan gula sheather yang diteteskan pada gelas objek dan dikeringkan di udara selama satu hari kemudian difiksasi diatas nyala api.  Teteskan larutan Ziehl Neelsen A pada sediaan yang telah difiksasi dan lewatkan di atas api bunsen beberapa kali sekitar 5–10 menit. Teteskan larutan Ziehl Neelsen B sampai pewarnaan terlihat pucat (pink), kemudian dicuci pada air mengalir dan keringkan di udara. Proses selanjutnya, teteskan larutan Ziehl Neelsen C sebanyak 2 tetes selama 2–3 menit, setelah itu dicuci dengan air mengalir dan dikeringkan. Pengamatan dilalukan di bawah mikroskop perbesaran 1000 kali dengan minyak emersi. Masing-masing larutan Ziehl Neelsen memiliki fungsi dan kandungan zat terlarut yang berbeda. Larutan Ziehl Neelsen A (carbol fuchsin) berfungsi sebagai pewarna utama. Larutan Ziehl Neelsen B (alkohol asam: HCL 3% dalam metanol 95%), berfungsi sebagai peluntur. Ziehl Neelsen C (pewarna biru metilen) berfungsi sebagai pewarna latar.
    Analisis data
    Data yang diperoleh dianalisis menggunakan metode uji regresi logistik dan dilanjutkan dengan uji-t untuk membandingkan rataan jumlah ookista Cryptosporidium sp. dan prevalensinya  berdasarkan jenis kelamin dan umur sapi.  Analisa data menggunakan program SPSS 16.0 dan Microsoft Excel 2007.

    HASIL DAN PEMBAHASAN

    Tingkat Prevalensi Secara Umum
    Tingkat prevalensi kriptosporidiosis pada sapi di peternakan rakyat Kabupaten Cianjur menunjukan angka 17.28% seperti terlihat pada Tabel 1. Suatu penyakit muncul ketika terjadi perubahan keseimbangan pada segitiga epidemiologi yang terdiri dari agen, host, dan lingkungan. Muhid et al. (2011) menyatakan bahwa manejemen pemeliharaan dapat meningkatkan infeksi Cryptosporidium sp. Sistem manajemen pemiliharaan yang merupakan faktor lingkungan terdiri dari: alas kandang yang digunakan, paparan sinar matahari, sistem pemeliharaan, frekuensi pembersihan kandang, dan sumber air yang digunakan. Semua hal tersebut dapat berkaitan terhadap transmisi ookista Cryptosporidium sp. Selain manajemen pemeliharaan tingkat infeksi Cryptosporidium sp. dapat dipengaruhi oleh pencemaran lingkungan, suhu, kelembaban, dan geografis (Artama et al. 2002). Pernyataan tersebut dikuatkan OIE Terestrial Manual (2004) yang menyatakan ookista Cryptosporidium sp. dapat bertahan hidup cukup lama pada lingkungan buruk, air, suhu dingin dan kondisi lembabManajemen pemeliharaan dan sanitasi kandang yang baik  perlu diterapkan pada peternakan, untuk menurunkan prevalensi kriptosporidiosis. Sistem manajemen pemeliharaan dan sanitasi kandang yang diterapkan oleh peternak sapi di Kabupaten Cianjur dapat dilihat pada Tabel 2.
    Tabel 1 Tingkat prevalensi kriptosporidiosis secara umum di Kabupaten Cianjur
    Kabupaten
    Jumlah Sampel
    Jumlah Sampel Positif
    Prevalesi (%)
    Cianjur
    81
    14
    17.28

    Tabel 2   Sistem manajemen pemeliharaan dan nilai Odds ratio infeksi Cryptosporidium sp. berdasarkan manajemen pemeliharaan
    Manajemen Pemeliharaan
    n
    n*
    Persentase (%)
    P
    OR
    Alas kandang
    -Semen
    -Tanah 

    34
    34

    5
    29

    14.7
    85.3


    0.038


    2.88*
    Paparan sinar matahari pada kandang
    34
    32
    94
    0.181
    0.74
    Frekuensi pembersihan kandang
    -Setiap hari
    -Seminggu satu kali

    34
    34

    33
    1

    97
    3

    1

    0.00
    Sumber Air
    -Sumur gali
    -Sungai, telaga/kolam

    34
    34

    33
    1

    97
    3

    0.999

    0.00
    Sistem pemeliharaan
    -Intensif
    -Semi-intensif
    -Ekstensif

    34
    34
    34

    2
    10
    22

    6
    29.30
    64.70


    Sistem pemeliharaan
    -Intensif vs semi-intensif
    -Intensif vs ekstensif
    -Ekstensif vs semi-intensif




    0.999
    0.999
    0.317

    2.08
    1.14
    1.82
    Keterangan : uji Regresi logistik; *berbeda nyata (p<0 .05="" span=""> a n ; jumlah peternak, n*;  jumlah pengguna,
    aP; P-value, OR; Odds ratio
    Ternak sapi yang ditempatkan pada kandang dengan alas semen yaitu sebesar 14.7%, dan ternak yang ditempatkan dalam kandang dengan alas tanah sebesar 85.3%.  Castro et al. (2002) menyatakan bahwa ada perbedaan nyata dalam prevalensi kriptosporidiosis di peternakan sapi dengan alas semen dan alas tanah. Hasilnya menunjukan risiko infeksi lebih tinggi pada sapi yang ditempatkan dalam kandang dengan alas tanah dibandingkan dengan sapi yang ditempatkan dalam kandang dengan alas semen.  Pernyataan tersebut dikuatkan oleh Muhid et al. (2011) yang menyatakan bahwa faktor penyebab tingginya prevalensi kriptosporidiosis adalah ternak yang ditempatkan pada kandang dengan alas tanah.  Alas tanah dapat menyebabkan kondisi kandang menjadi  lembab dan basah.
    Kirk (2011) menyatakan faktor-faktor seperti sinar matahari, pH rendah atau tinggi, pengeringan dan suhu tinggi, dapat mengurangi kelangsungan hidup patogen.  Sinar matahari yang masuk ke dalam kandang akan membantu menurunkan tingkat kebasahan dan kelembaban kandang yang disebabkan adanya penumpukan feses, urin, dan airPaparan sinar matahari ke dalam kandang (94%) yang diterapkan oleh peternak sudah tergolong baik ditambah dengan adanya  frekuensi pembersihan kandang yang teratur dapat mengurangi terjadinya penumpukan kotoran. Cryptosporidium sp. peka pada kondisi kandang yang lembab dan basah sehingga dapat meningkatkan prevalensi kriptosporidiosis. Berdasarkan data kuisioner pada Tabel 2, peternak yang membersihkan kandang ternaknya dengan frekuensi setiap hari adalah sebanyak 97%.
    Sumber air yang digunakan oleh peternak adalah sumur gali, air sungai, dan air telaga atau kolam. Sebagian besar peternak (97%) menggunakan air sumur gali (air tanah) untuk ternaknya, sedangkan penggunaan air sungai, air telaga atau air kolam (air permukaan tanah) hanya sebagian kecil saja (3%) seperti tercantum pada Tabel 2. Ookista Cryptosporidium sp. banyak ditemukan pada air permukaan. Ookista Cryptosporidium sp. telah ditemukan di 4–100% pada sampel air permukaan yang diperiksa dengan konsentrasi mulai dari 1–10.000 ookista/100 liter, sedangkan keberadaan ookista pada air tanah sangat rendah (Lisle dan Rose 1995).  Berdasarkan data kuisioner (Tabel 2), penggunaan sumber air untuk ternak pada peternakan sapi di Kabupaten Cianjur sudah tergolong baik. Hal ini tercermin dari banyaknya peternak yang menggunakan sumber air tanah.
    Sistem pemeliharaan sapi potong terdiri dari tiga, yaitu dikandangkan terus-menerus (intensif), dilepaskan pada siang hari dan dikandangkan pada malam hari (semi-intensif), dan dilepas/digembalakan terus menerus (ekstensif). Penerapan sistem pemeliharaan yang baik akan berpengaruh terhadap pertumbuhan ternak, dan tingkat prevalensi penyakit. Sistem pemeliharaan yang banyak diterapkan oleh peternak di Kabupaten Cianjur yaitu : pemeliharaan secara ekstensif (64.70%), pemeliharaan secara semi-intensif (29.30%), dan pemeliharaan secara intensiif (6%). Muhid et al. (2011) menyatakan, prevalensi kriptosporidiosis lebih tinggi ditemukan pada peternakan dengan sistem pemeliharaan intensif. 
    Berdasarkan uji regresi logistik pada Tabel 2 faktor manajemen pemeliharaan yang berasosiasi terhadap prevalensi kriptosporidiosis pada sapi hanya alas kandang saja. Sapi yang ditempatkan dalam kandang dengan alas  tanah memiliki resiko terinfeksi Cryptosporidium sp. 2.88 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan sapi yang ditempatkan dalam kandang dengan alas semen. Sedangkan manajemen pemeliharaan lainnya seperti paparan sinar matahari, frekuensi pembersihan kandang, sumber air yang digunakan, dan sistem pemeliharaan tidak berasosiasi terhadap prevalensi kriptosporidiosis.

    Prevalensi Kriptosporidiosis  Berdasarkan Umur dan Jenis Kelamin Ternak pada Pemeriksaan Natif
    Keberadaan ookista diketahui melalui pemeriksaan natif sampel feses  dengan teknik pengapungan menggunakan gula sheater, dan teknik pewarnaan Ziehl Neelsen. Sampel yang dinyatakan positif mengandung ookista pada pemeriksaan natif, dilakukan pemeriksaan lanjut dengan pewarnaan Ziehl Neelsen untuk mengkonfirmasi ulang keberadaan ookista.  Pemeriksaan lanjut tersebut dilakukan untuk menghindari adanya positif palsu. Casemor et al. (1985) menyatakan teknik pewarnaan Ziehl Neelsen dapat digunakan untuk mengkonfirmasi ulang keberadaan ookista. Teknik pengapungan menggunakan gula sheater, dan teknik pewarnaan Ziehl Neelsen dianjurkan untuk pemeriksaan Cryptosporidium sp. (Garcia 2001).
    Tabel 3   Persentase sapi terinfeksi Cryptosporidium sp. berdasarkan jenis kelamin dan umur
    Faktor

    n
    Positif

    Persentase (%)
    Rataan jumlah sapi terinfeksi Cryptosporidium sp.
    Umur
     Anak
    32
    5

    16
    0.16±0.37

    Dewasa
    49
    9

    18
    0.18±0.39
    Jenis kelamin
    Betina
    63
    11

    17.46
    0.17±0.38

    Jantan
    18
    3

    16.66
    0.17±0.38

    Keterangan : uji-t; *berbeda nyata (p<0 .05="" span="">, n; jumlah sampel
    Prevalensi kriptosporidiosis pada anak sapi 16%, dan prevalensi pada sapi dewasa 18% (Tabel 3), tetapi secara statistika  tidak ditemukan adanya perbedaan yang nyata (P>0.05). Hasil ini berbeda dengan Faubert dan Litvinsky (2000) yang menyatakan bahwa parasit Cryptosporidium sp. lebih dominan menyerang pedet dan anakan dibanding dewasa, karena sistem kekebalan pada ternak muda belum terbentuk sempurna. Tidak adanya perbedaan yang nyata  tersebut diduga karena peternak yang menerapkan sistem pemeliharaan intensif jauh lebih sedikit dibandingkan dengan sistem pemeliharaan semi-intensif dan ekstensif. Selain hal tersebut, faktor yang dapat menyebabkan tinggi atau rendahnya prevalensi adalah derajat infeksi agen penyakit. Prevalensi kriptosporidiosis secara nyata ditemukan pada hewan kurang dari satu bulan (Sischo et al. 2000; Huentink et al. 2001; Sturdee et al. 2003; Santyn et al. 2004).  Infeksi Cryptosporidium sp. pada hewan yang lebih dewasa dapat menyebabkan infeksi dengan perkembangan yang lambat, hal ini karena sapi dewasa dianggap sebagai reservoir dan dapat terinfeksi secara asimptomatis (Misic et al. 2002).
    Prevalensi kriptosporidiosis pada sapi betina 17.46% dan pada sapi jantan 16.66% (Tabel 3). Secara statistika kejadian kriptosporidios pada sapi betina dan jantan tidak berbeda nyata (P>0.05).  Prevalensi kriptosporidiosis pada hewan jantan maupun hewan betina memiliki kerentanan yang sama (Hamnes et al. 2007). Hasil penelitian ini (Tabel 3) sejalan dengan hasil penelitian Nasir et al. (2009) yang menyatakan tidak ada perbedaan yang nyata pada prevalensi infeksi Cryptosporidium sp. yang diamati pada sapi jantan dan sapi betina.  Hal ini diduga karena dipengaruhi oleh sistem pertahanan tubuh yang dimiliki oleh sapi berdasarkan jenis kelamin memiliki persamaan. Saat agen patogen masuk ke dalam tubuh maka sistem pertahanan tubuh akan meresponnya. Sistem pertahanan tersebut terdiri atas pertahanan tubuh bagian luar atau fisik, sistem kekebalan bawaan, dan sistem kekebalan dapatan. Heine et al. (1984) melakukan serangkaian uji coba tentang pentingnya sel T untuk pemulihan akibat infeksi Cryptosporidium sp. yang diuji cobakan pada mencit yang memiliki kelainan pada sel T. Mead et al. (1992) melakukan serangkaian uji coba dengan cara mengangkat dan mentransfer sel dari organ timus, limpa dan sumsum tulang belakang yang berasal dari tikus liar ke mencit yang mempunyai kelainan sel T tersebut, secara ekperimental membuktikan keberadaan sel T, mampu mengeradikasi infeksi yang ditimbulkan oleh Cryptosporidium sp. Tingginya prevalensi penyakit pada salah satu jenis kelamin dapat disebabkan oleh faktor intrinsik, dan faktor ekstrinsik (Ayinmode dan Benjamin 2010). Selain faktor intrinsik dan faktor ekstrinsik keparahan kriptosporidiosis dipengaruhi juga oleh derajat infeksi, sistem kekebalan, adanya infeksi sekunder, nutrisi, dan peternakan (Olson et al. 2004).
    Rataan Jumlah Ookista Cryptosporidium sp. Berdasarkan Umur Ternak dengan Pewarnaan Ziehl Neelsen
    Rataan jumlah ookista Cryptosporidium sp. pada anak (>6 bulan–12 bulan) dengan dewasa (>12 bulan) berdasarkan uji statistika yang disajikan pada Tabel 4, tidak menunjukan perberbedaan yang nyata (P>0.05). Rataan jumlah ookista Cyptosporidium sp. yang tidak berbeda nyata mengindikasikan umur sapi tidak mempengaruhi prevalensi kriptosporidiosis pada sapi. Ayinmode dan Benjamin (2010) menyatakan, tidak ada perbedaan yang nyata (P>0.05) antara tingkat infeksi di anak sapi dengan sapi dewasa. Duranti et al. (2008) menyatakan umur yang mempengaruhi kejadian kriptosporidiosis secara nyata ditemukan pada sapi yang berumur dua minggu setelah dilahirkan.
    Tabel 4 Rataan jumlah ookista Cryptosoporidium sp. berdasarkan umur
    Umur
    n
    Rataan jumlah ookista Cyptosoporidium sp. per 10 lapang pandang per ekor sapi
     Anak
    5
    12.2±9.4 a
    Dewasa
    9
      7.8±4.7 a

    Keterangan : n; jumlah sampel, uji t:  huruf kecil superskrip yang sama  menyatakan hasil tidak berbeda nyata (p>0.05)
    Anak sapi dengan induknya ditempatkan dalam satu kandang, diduga menjadi faktor tidak adanya perbedaan yang nyata pada rataan jumlah ookista Cryptosporidium sp. berdasarkan tingkat umur. Castro et al. (2002) menyatakan pemisahan kandang mengakibatkan anak sapi rentan terhadap infeksi Cryptosporidium sp. karena rendahnya kekebalan dan mudah terinfeksi ookista melalui pemberian pakan. Pemisahan kandang anak sapi dengan induknya menjadi faktor nyata dalam infeksi Cryptosporidium sp. sedangkan anak sapi yang dirawat induknya akan terlindungi (Duranti et  al. 2008).
    Faktor kondisi kandang dan sistem kekebalan tubuh yang dimiliki ternak dapat mempengaruhi infeksi rataan jumlah ookista Cryptosporidium sp. Artama et al. (2005) menyatakan jumlah ookista pada setiap hewan bervariasi. Hal ini diduga karena faktor lingkungan dan imunitas ternak. Tinggi rendahnya rataan jumlah ookista Cryptosporidium sp. yang ditemukan pada ternak dapat mempengaruhi prevalensi kriptosporidiosis pada suatu peternakan.  Garcia (2001) menyatakan jumlah ookista di 20 bidang yang dipilih secara acak pada pembesaran 1000 kali dikategorikan menjadi empat yaitu tidak ditemukan ookista dinyatakan negatif, 1–5 ookista dinyatakan positif namun kategori sedikit, 6–10 kategori sedang, dan lebih dari 10 tergolong relatif tinggi.  Rataan jumlah ookista Cryptosporidium sp. per 10 lapang pandang per ekor sapi di Kabupaten Cianjur dapat  digolongkan ke dalam kategori relatif tinggi.
    Rataan Jumlah Ookista Cryptosporidium sp. Berdasarkan Jenis Kelamin Ternak dengan Pewarnaan  Ziehl Neelsen
    Tabel 5 Rataan jumlah ookista Cryptosoporidium sp. berdarkan jenis kelamin
    Jenis kelamin
    n
    Rata-rata jumlah ookista Cryptosporidium sp. per 10 lapang pandang per ekor sapi
    Betina
    11
    5.7±4.5a
    Jantan
    3
    10.3±7.1a

    Keterangan : n; jumlah sampel, uji-t; huruf kecil superskrip yang sama menyatakan hasil tidak berbeda nyata (p>0.05)
    Rataan jumlah ookista Cryptosoporidium sp. pada jenis kelamin berdasarkan uji statistika yang ditampilkan pada Tabel 5, tidak ditemukan adanya perbedaan yang nyata (p>0.05). Rataan jumlah ookista Cryptosoporidium sp. yang tidak berbeda nyata mengindikasikan jenis kelamin tidak berpengaruh terhadap prevalensi kriptosporidiosis pada sapi.  Nasir et al. (2009) menyatakan, tidak ada perbedaan yang nyata pada rataan infeksi Cryptosporidium sp. yang diamati pada sapi jantan dan sapi betina. Rataan jumlah infestasi parasit pada suatu ternak dapat diperangaruhi oleh adanya faktor stres pada ternak yang dapat menurunkan sistem imunitas. Bandini (2001) menyatakan bahwa banyaknya jumlah parasit yang ditemukan pada salah satu jenis kelamin diduga karena faktor stres pada sapi.
    SIMPULAN
    Tingkat prevalensi kriptosporidiosis pada sapi di peternakan rakyat Kabupaten Cianjur menunjukan angka 17.28%. Rataan jumlah ookista Cryptosporidium sp. tidak menunjukan adanya perbedaan yang nyata  baik di tingkat umur ataupun jenis kelamin sapi. Berdasarkan uji regresi logistik ternak yang ditempatkan dalam kandang dengan alas tanah memiliki resiko terinfeksi Cryptosporidium sp. 2.88 kali lipat lebih besar dibandingkan dengan ternak yang ditempatkan dalam kandang dengan alas semen. Manajemen pemeliharaan dan sanitasi kandang seperti, sistem pemeliharaan, paparan sinar matahari ke dalam kandang, frekuensi pembersihan kandang, dan sumber air yang digunakan untuk ternak sudah tergolong baik walaupun secara uji regresi logistik tidak menunjukan adanya asosiasi.
    SARAN
    Berdasarkan hasil penelitian penulis menyarankan perlu diadakan penelitian lebih lanjut mengenai prevalensi kriptosporidiosis pada sapi di peternakan rakyat Kabupaten Cianjur. Terutama faktor-faktor yang berkaitan antara kejadian kriptosporidiosis pada umur dan jenis kelamin.
    DAFTAR PUSTAKA
    Artama K, Cahyaningsih U, Sudarnika E. 2005. Prevalensi Infeksi Cryptosporidium sp. pada Sapi Bali di Dataran Rendah dan Dataran Tinggi di Kabupaten Karangasem Bali [Tesis]. Bogor (ID): Institut Pertanian Bogor.
    Ayinmode BA, Benjamin OF. 2010. Prevalence of Cryptosporidium infection in Cattle from South Western Nigeria. Vet Archive. 80(6):723–731.
    Bandini Y. 2001.  Sapi Bali. Jakarta (ID): Penebar Swadaya
    Castro HJA, Gonjales LYA, Marzzs EA. 2002. Prevalence and risk factor invold in the spread of neonatal bovine cryptosporidiosis in Galacia. Vet Parasitol. 106:1-10.
    Casemore DP, Armstrong M, Sands RL. 1985. Laboratory diagnosis of Cryptosporidiosis. J Clin Pathol. 38:1337–1341.
    Duranti A, Caccio SM, Pozio E, Edigio AD, Curtis MD, Battisi A, Scaramozzino P. 2008. Risk faktor associated with Cryptosporidium  sp. infection in Cattle. Z Pub Health. 56(2009):176–182.
    Faubert GM, Litvinsky Y. 2000. Natural transmission of Cryptosporidium sp. between dams and calves on a dairy farm. J Parasitol. 86(3):495–500.
    Garcia LS. 2001. Diagnostic Medical Parasitology 4th ed. Washington DC (US): ASM Press. Di dalam : Ayinmode BA, Benjamin OF. 2010. Prevalence of Cryptosporidium Infection in Cattle from South Western Nigeria. Vet Archive. 80 (6):723–731.
    Hamnes IS, Gjerde BJ, Robertson LJ. 2007. A longitudinal study on the occurrence of Cryptosporidium and Giardia in dogs during their first year of life. Acta Vet Scandinavica. 49:22.
    Heine J, Moon HW, Woodmansee DB. 1984. Persistent Cryptosporidium infection in congenitally athymic (nude) mice. Infect and Immun. 43:856–859.
    Huentink REC, Van der G, Noordhuizen JP, Ploeger HW. 2001. Epidimiology of Cryptosporidium sp. and Giardia duodenalis on a dairy farm. Vet Parasitol. 102:53–67.
    Kirk JH. 2011. Pathogens in manure [Internet]. [diunduh 29 Agustus 2013]. Tersedia pada http://www.vetmed.ucdavis.edu/vetext/INF-DA/Pathog manure.pdf.University of California.
    Lisle JT, Rose JB. 1995. Cryptosporidium contaminatin of water in USA and UK. J Water Supply Res. 44:103–105.
    Marcelo S, Borges AS. 2002. Some Aspects of Protozoan Infection in Immunocompromised Patiens-A Review. Mem Inst Oswaldo Cruz. 97(4):443–457.
    Misic ZS, Radovojevic R, Kusilic Z. 2002. Cryptosporidium infection in wearers bull calves and posparturient cows in the Belgrade area. Acta Vet. 52(1):34–41.
    Mead JR, Arrowood MJ, Healey MC, Sidwell RW. 1991. Cryptosporidial infections in SCID mice reconstituted with human or murine lymphocytes. J of Protozool. 38:59S–61S.
    Muhid A, Roberston I, Josephine NG, Ryan U. 2011. Prevalence of and management factors contributing to Cryptosporidium sp. Infection in pre-weaned and post-weaned calves in Johor, Malaysia. Exp Parasitol. 127:534–538.
    Nasir A, Avais M, Khan MS, Ahmad N. 2009. Prevalence of Cryptosporidium sp. infection in Lahore  (Pakistan) and its association with diarrhea dairy calves. Int J Agric Biol. 11:221–224.
    [OIE] Office International des Epizooties Collaborating Center Iowa State University College of Veterinary Medicine. 2004. Cryptosporidiosis. United State (US): Iowa State University.
    Olson ME, O’handley RM, Ralston BJ, Mc.Allister TA, Thompson RC. 2004. Update on Cryptosporidium and Giardia infections in cattle. Trends Parasitol. 20:185–191.
    Santyn M, James M, Trout, Xiao L, Zhou L, Greiner E, Fayer R. 2004. Prevalence and age related variation of Cryptosporidium sp. and genotypes in dairy calves. Vet  Parasitol. 122:103–117.
    Sischo WM, Atwill ER, Lanyon LE, George J. 2000. Cryptospodian on dairy farms and the role these farms may have in contaminating surface water supplies in the northeastern United State. Prev Vet Med. 43:253–267.
    Sturdee AP, Bodley, Tickell AT, Archer A, Chalmes RM. 2003. Long-term study of Cryptosporidium prevalence on lowland farm in the United Kingdom. Vet Parasitol. 116:97–113.

    0 komentar:

    Post a Comment