Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image Demo image

IGTF CHAPTER #4

  • Monday, July 22, 2013
  • mansyurahmad.blogspot.com
  • Label:


  • PENTINGNYA KOMUNIKASI
    (Menyampaikan Kata-Kata Ilmiah Menjadi Bahasa Yang Mudah Dicerna Oleh Masyarakat Awam)


    Dalam kehidupan sehari-hari manusia tidak akan luput dari “komunikasi” karena komunikasi merupakan cara kita berinteraksi dengan orang-orang yang ada disekitar kita.  Dalam berkomunikasi dengan orang lain kita harus memperhatikan berbagai aspek seperti adat istiadat, daerah, budaya, dan mungkin suku.  Ketidakfahaman dalam aspek-aspek tersebut dapat memunculkan suatu masalah yang kompleks, dan bahkan bisa juga memicu perselisihan antar komunitas, ataupun suku.
    Terkait dalam berkomunikasi saya mempunyai kisah dan cerita yang saya anggap benar-benar berkesan, kejadian tersebut saya alami saat saya mengikuti kegiatan IPB Goes To Field  di kabupaten Kudus (IGTF Kudus 2013).  Kejadian unik tersebut saya alami tepatnya di desa Bulungkulon disaat saya ditugaskan oleh ketua pelaksana IGTF Kudus 2013 untuk mendampingi adik-adik semester 4 untuk melakukan pemberian obat cacing gratis untuk ternak sapi, kerbau, kambing, dan domba.
    Kebetulan dalam acara IGTF tersebut ada program pemberian obat cacing untuk ternak secara gratis, kejadian bermula disaat rombongan peserta IGTF Kudus 2013 melakukan pemberian obat cacing (pencekokan) di salah satu kandang sapi milik usaha kelompok, disaat para rombongan selesai melakukan pencekokan dikandang sapi tersebut, ada seorang ibu-ibu lanjut usia, umurnya sekitar 70 tahun ke atas, dari kejauhan ibu tersebut terlihat berjalan menghampiri rombongan kita, karena ibu tersebut tau atau mungkin dikasih tau orang lain kalau rombongan kita sedang melakukan pemberian obat cacing secara gratis, tanpa pikir panjang sebagian dari rombongan kita yang dipimpin oleh kordinator desanya saudari Erdina, dan teman saya M. Denny sapto yang juga ditugasi oleh ketua pelaksana :  Ganjar Alaydrussani untuk menjadi pendamping, mendatangi kandang ternak kambing milik ibu-ibu tersebut, pada saat itu saya memilih untuk melakukan pengambilan foto kegiatan, dan diam bersama rombongan lainnya dikandang sapi sambil menunggu pemilik kandang sapi yang laiannya.
    Dalam pembrian obat cacing tersebut ada aturan main dan aturan pakainya, yakni : tidak boleh diberikan kepada hewan bunting atau sedang menyusui, tidak boleh diberikan kepada ternak dibawah umur satu tahun.  Sebelum melakukan pencekokan rombongan tersebut ada yang bertanya kepada sang pemilik apakah hewan tersebut sedang bunting atau sedang menyusui…?? Sang pemilik menjawab “tidak kok” cekok aja semua kambingnya, mungkin sang pemilik berpikir supaya ternaknya sehat-sehat dan gemuk. Dengan instruksi dari sang pemilik dan dari hasil wawancara “wakil rombongan”, maka semua ternak kambing diberikan obat cacing, kemudian setelah beres rombongan tersebut kembali ke kandang sapi, karena saat itu pemilik kandang sapi mengajak berdiskusi kecil, terkait ternak sapi.
    Tak lama berselang sekitar 15 menit kemudian sang pemilik teriak-teriak memanggil kita, “mba, mba mba kambingnya jadi kejang-kejang” sambil lari panik M.Denny dan sebagian rombongan berlari ke kandang kambing sang pemilik untuk mengecek keadaan kambingnya tersebut, dan sekali lagi saya memilih diam sambil memaikan kamera, karena saya menganggap “ah palingan dosisnya kelebihan atau mungkin keracunan dari makanan”, ga apa-apa itu hanya reaksi sesaat, dan ditambah lagi waktu saat itu saya memang sedikit malas untuk bergerak, dan saya percaya kepada M.Denny karena pengalamannya sudah banyak.
    Setelah beberapa saat terlihat sang pemilik lari-lari, saya bertanya kepada peserta rombongan, “kenapa si ibunya”, kata salah seorang peserta “ibunya mau nayri air kelapa buat si kambing”, setelah itu saya datang ke kandang kambing tersebut, saya lihat kambingnya tidak apa-apa karena si kambing masih mau makan hanya memang sambil duduk, seraya melihat kondisi kambing tersebut saya bicara kepada M.Denny dan peserta “ah ini mah ga apa-apa, kasih aja air kelapa sama susu” untuk menetralisir racunnnya.  Salah seorang peserta pun dengan cekatan segera bergegas untuk  membeli susu, lalu susu tersebut diberikan ke kambing dengan cara susu dismasukan melalui mulut menggunakan syring 20ml lalu mulutnya diguyur dengan air kelapa. Tak lama kemudia si kambing pun berjalan kembali dan makan kembali, lalu rombongan sebagian pergi menuju tempat istirahat, sekitar 10 menit kemudian sang pemilik memanggil-manggil lagi, “kambingnya kejang lagi”, dari sana mulai terjadi ketegangan terutama para peserta, langsung saat itu saya menelpon Pembina Prof. Dr. drh Agik suprayogi MSc, AFI.  untuk menanyakan solusinya, setelah saya ceritakan kronologinya beliau menjawab“ah insyaallah tidak apa-apa itu hanya shock saja” coba kamu cek frekuensi jantungnya, nafasnya, dan suhu tubuhnya lalu berikan arang aktif,”, dan memang nanti ada apa-apa kambingnya beli saja sebagai ganti rugi,” sehabis percakapan dengan pembinapun saya mencoba melaporkan kejadian tersebut dan menceritakan kronologinya kepada ketua pelaksana (Ganjar Alaydrussani), dan tanggapan ketuapun mengiyakan “kalau ada apa-apa dengan kambingnya akan diganti 100%”, acara meminta saran dan pelaporan selesai dengan segera lalu saya meminta tolong salah satu peserta untuk membeli arang aktif, sesuai instruksi dari Pembina kita memberikan arang aktif tersebut, arang aktif tersebut juga berfungsi untuk menetralisir racun-racun yang ada dalam tubuh,  setelah diberikan arang aktif kambing tersebut kembali lagi berjalan dan makan, kemudian saya menyuruh dan meminta tolong kordes untuk berbicara kepada sang pemilik menggunakan bahasa jawa “saat itu saya memang tidak bisa berbahasa jawa” kalau ada apa-apa atau kambingnya mati kita akan menggantinya 100%.
    Sang pemilik baru menceritakan kalau kambingnya 3 minggu yang lalu baru melahirkan namun semua anaknya mati, jadi secara normal kambing tersebut masih berada dalam masa menyusui anak-anaknya, ditambah lagi kondisi kambing tersebut memang tidak sehat, kambing tersebut mengalami ketidak normalan pada salah satu ambingnya, kami memperkirakan kalau itu adalah sebuah tumor dan umur kambing tersebut sudah sangat tua, yaitu brumur 4 tahun.
    Acara pencekokan dengan tragedi kejangnya kambing sang warga pun selesai, semua rombongan kembali dimobilisasi ke basecamp.  Sembari menunggu saudara Ganjar dan Bagus (salah satu tim yang menjadi pembimbing), saya dan M.Denny istirahat dan mencari makan dahulu karena waktu itu sudah siang dan hampir menuju sore.  Setalah mereka datang kita pun menceritakan semua kronologinya, dan ternyata pasca saya melaporkan kejadian kejangnya kambing warga tersebut membuat panik bagus dan ganjar yang memang pada waktu yang bersamaan mereka juga sedang melakukan pencekokan di desa yang lain.
    Waktu pun telah sore kami berempat pun pulang menuju rumahnya ganjar, karena kita berempat semua sudah  kelaparan jadi kita putuskan setelah shalat magrib untuk makan dirumah makan garang asam sari rasa, yang memang merupakan salah satu makanan khas kota kudus.  Setelah makan beres kita melanjutkan perjalanan pulang ke rumah ganjar, selama perjalanan ke rumah, kita berempat membicarakan tentang kambing tersebut, sampai pada suatu ketika saya bertanya kepada ganjar “jar pejah artinya apaan?,” karena memang itu bahasa jawa, dan ganjar dengan denny sedang membahas “pejah”, kata ganjar artinya “mati”, saya Cuma bergurau dengan kata pejah, karena saya yakin kambing tadi tidak akan mati.
    Sekitar 5 menit setelah saya menanyakan tentang arti dari kata pejah, sang kordes desa bulungkulon menelpon, “mas kembing yang tadi mati”, tadi saya dikasih tau oleh pak kadus, dan pak kadus meminta pertanggungjawaban kita”, ganjar hanya menjawab “ya sudah kita bayar kambingnya”.  Begitu sampai rumah ganjar kita langsung kembali lagi ke desa bulungkulon, kita sampai rumah hanya mengganti kendaraan saja, akhirnya kita menggunakan motor.  Sekitar 15 menit kita sampai di TKP “karena bawa motornya ngebut”, langsung kita semua (pembimbing lapangan, dan rombongan peserta) mendatangi rumah pak kadus, dan disana menjadi tempat pertemuan antara kita dengan sang pemilik, setelah terjadi percakapan yang cukup panjang baik dengan pak kadus dan sang pemilik, ternyata kambing tersebut belum mati, pak kadus hanya salah informasi, si kambing hanya terlihat lemas saja, namun pada malam itu saudara ganjar memutuskan untuk membayar kambing tersebut, karena berpikir takut sampai kambingnya mati itu akan berdampak pada kepercayaan, dan akhirnya setelah terjadi perdebatan kita langsung mebayar sang kambing naas tersebut, dan membawa kambing tersebut ke rumah ganjar, semua peserta disuruh untuk pulang kembali ke basecamp.
    Kita (Saya, ganjar, denny, dan bagus) kembali pulang sambil membawa kambing betina naas. Banyak hal yang saya lewatkan dalam prolog pengalaman saya tentatang masalah komunikasi tersebut, intinya keseokan harinya kambing tersebut kejang-kejang kembali hampir sudah tidak bernafas, sampai akhirnya kambing tersebut tewas di tangan sang jagal jadi-jadian, dan setelah dibuka organ dalamnya memang sudah mengalami kerusakan parah hati, jantung, lemak, usus nya sudah rusak “dalam hal ini saya tidak menggunakan istilah kedokteran hewan biar mudah di mengerti, jadi saya gunakan istilah “rusak saja”, dalam lambungnya pun terdapat plastic dan raffia karena si kambing ini ternyata makannya sembarangan.
    Dari cerita dan prolog pengalaman tersebut yang ngaler-ngidul alias ga karuan saya dapat mengambil kesimpulan “ betapa pentingnya kita sebagai kaum intelek untuk berkomunikasi dengan baik, dan mengetahui latar budaya, adat istiadat dari lawan komunikasi kita.  Kita harus bisa memilih kata-kata umum yang mudah dimengerti oleh khalayak banyak terutama masyarakat awam, yang memang tidak mempunyai latar pendidikan seperti mahasiswa, isitilah-istilah ilmiah yang biasa digunakan dikampus atau di bangku kuliah yang kita anggap keren, itu sebaiknya tidak digunakan saat berkomunikasi denga kaum awam karena tidak bermanfaat, dalam artian pemahaman untuk kata-kata tersebut, bisa dikatakan asing untuk mereka, kita dapat menggunakan istilah-istilah asing apabila lawan kita “sepadan” misalkan sesama mahasiswa.  Selama di bangku kuliah mungkin kita tidak pernah diajarkan bagaimana cara berkomunikasi dilapangan, dan bagaiamana pemilihan kata-kata nya yang dapat dicerna oleh kaum awam, kalaupun pernah itu hanya berapa persen, dan saya yakin tidak lebih dari 5%, betapa jauhnya antara ilmu yang di dapat selama di bangku kuliah, denga aplikasinya dilapangan.  Setelah saya mengikuti IGTF ini saya memiliki pengalaman ternyata “cukup dengan istilah yang sangat sederhana saja masyarakat dapat mencerna apa yang kita sampaikan” betapa pentingnya kita menyederhanakan kata-kata ilmiah menjadi kata-kata yang ringan dan mudah dicerna oleh semua orang sebagai modal kita berkomunikasi dengan masyarakat dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah kita peroleh di bangku kuliah, dan istilah tersebut saya sebut dengan “metode yang tidak tertulis dalam literature”
    Kesalah fatal dalam tragedy tersebut adalah komunikasi yang kurang anatara mahasiswa dengan sang pemilik kambing. Mahasiswa Hanya tidak menanyakan “kapan terakhir kambing ini bunting dan menyusui..?”, itulah hal sepele yang bisa membuat kefatalan. Secara umum dari tragedy ini saya bisa memetik 2 hal pokok mendasar yang harus kita miliki sebagai mahasiswa yaitu : 1 kemampuan berkomunikasi dengan orang yang berbeda latar serta kemampuan dalam mengubah atau mencari kata-kata yang sepadan dengan kata-kata ilmiah menjadi kata-kata yang ringan dan dimengerti banyak orang, ke 2 pentingnya memperhatikan hal-hal kecil, dan jangan pernah menyepelekan hal-hal kecil tersebut.
    BERSAMBUNG KE IGTF CHAPTER V………………………………….


    0 komentar:

    Post a Comment