PENTINGNYA
KOMUNIKASI
(Menyampaikan Kata-Kata Ilmiah Menjadi Bahasa
Yang Mudah Dicerna Oleh Masyarakat Awam)
Dalam kehidupan sehari-hari manusia
tidak akan luput dari “komunikasi” karena komunikasi merupakan cara kita
berinteraksi dengan orang-orang yang ada disekitar kita. Dalam berkomunikasi dengan orang lain kita
harus memperhatikan berbagai aspek seperti adat istiadat, daerah, budaya, dan
mungkin suku. Ketidakfahaman dalam
aspek-aspek tersebut dapat memunculkan suatu masalah yang kompleks, dan bahkan
bisa juga memicu perselisihan antar komunitas, ataupun suku.
Terkait dalam berkomunikasi saya
mempunyai kisah dan cerita yang saya anggap benar-benar berkesan, kejadian
tersebut saya alami saat saya mengikuti kegiatan IPB Goes To Field di kabupaten Kudus (IGTF Kudus 2013). Kejadian unik tersebut saya alami tepatnya di
desa Bulungkulon disaat saya ditugaskan oleh ketua pelaksana IGTF Kudus 2013
untuk mendampingi adik-adik semester 4 untuk melakukan pemberian obat cacing
gratis untuk ternak sapi, kerbau, kambing, dan domba.
Kebetulan dalam acara IGTF tersebut
ada program pemberian obat cacing untuk ternak secara gratis, kejadian bermula
disaat rombongan peserta IGTF Kudus 2013 melakukan pemberian obat cacing
(pencekokan) di salah satu kandang sapi milik usaha kelompok, disaat para
rombongan selesai melakukan pencekokan dikandang sapi tersebut, ada seorang
ibu-ibu lanjut usia, umurnya sekitar 70 tahun ke atas, dari kejauhan ibu
tersebut terlihat berjalan menghampiri rombongan kita, karena ibu tersebut tau
atau mungkin dikasih tau orang lain kalau rombongan kita sedang melakukan
pemberian obat cacing secara gratis, tanpa pikir panjang sebagian dari
rombongan kita yang dipimpin oleh kordinator desanya saudari Erdina, dan teman
saya M. Denny sapto yang juga ditugasi oleh ketua pelaksana : Ganjar Alaydrussani untuk menjadi pendamping,
mendatangi kandang ternak kambing milik ibu-ibu tersebut, pada saat itu saya
memilih untuk melakukan pengambilan foto kegiatan, dan diam bersama rombongan
lainnya dikandang sapi sambil menunggu pemilik kandang sapi yang laiannya.
Dalam pembrian obat cacing tersebut
ada aturan main dan aturan pakainya, yakni : tidak boleh diberikan kepada hewan
bunting atau sedang menyusui, tidak boleh diberikan kepada ternak dibawah umur
satu tahun. Sebelum melakukan pencekokan
rombongan tersebut ada yang bertanya kepada sang pemilik apakah hewan tersebut
sedang bunting atau sedang menyusui…?? Sang pemilik menjawab “tidak kok” cekok
aja semua kambingnya, mungkin sang pemilik berpikir supaya ternaknya
sehat-sehat dan gemuk. Dengan instruksi dari sang pemilik dan dari hasil
wawancara “wakil rombongan”, maka semua ternak kambing diberikan obat cacing,
kemudian setelah beres rombongan tersebut kembali ke kandang sapi, karena saat
itu pemilik kandang sapi mengajak berdiskusi kecil, terkait ternak sapi.
Tak lama berselang sekitar 15 menit
kemudian sang pemilik teriak-teriak memanggil kita, “mba, mba mba kambingnya
jadi kejang-kejang” sambil lari panik M.Denny dan sebagian rombongan berlari ke
kandang kambing sang pemilik untuk mengecek keadaan kambingnya tersebut, dan
sekali lagi saya memilih diam sambil memaikan kamera, karena saya menganggap
“ah palingan dosisnya kelebihan atau mungkin keracunan dari makanan”, ga
apa-apa itu hanya reaksi sesaat, dan ditambah lagi waktu saat itu saya memang
sedikit malas untuk bergerak, dan saya percaya kepada M.Denny karena
pengalamannya sudah banyak.
Setelah beberapa saat terlihat sang
pemilik lari-lari, saya bertanya kepada peserta rombongan, “kenapa si ibunya”,
kata salah seorang peserta “ibunya mau nayri air kelapa buat si kambing”,
setelah itu saya datang ke kandang kambing tersebut, saya lihat kambingnya
tidak apa-apa karena si kambing masih mau makan hanya memang sambil duduk,
seraya melihat kondisi kambing tersebut saya bicara kepada M.Denny dan peserta
“ah ini mah ga apa-apa, kasih aja air kelapa sama susu” untuk menetralisir
racunnnya. Salah seorang peserta pun
dengan cekatan segera bergegas untuk
membeli susu, lalu susu tersebut diberikan ke kambing dengan cara susu
dismasukan melalui mulut menggunakan syring 20ml lalu mulutnya diguyur dengan
air kelapa. Tak lama kemudia si kambing pun berjalan kembali dan makan kembali,
lalu rombongan sebagian pergi menuju tempat istirahat, sekitar 10 menit
kemudian sang pemilik memanggil-manggil lagi, “kambingnya kejang lagi”, dari
sana mulai terjadi ketegangan terutama para peserta, langsung saat itu saya
menelpon Pembina Prof. Dr. drh Agik suprayogi MSc, AFI. untuk menanyakan solusinya, setelah saya
ceritakan kronologinya beliau menjawab“ah insyaallah tidak apa-apa itu hanya
shock saja” coba kamu cek frekuensi jantungnya, nafasnya, dan suhu tubuhnya
lalu berikan arang aktif,”, dan memang nanti ada apa-apa kambingnya beli saja
sebagai ganti rugi,” sehabis percakapan dengan pembinapun saya mencoba
melaporkan kejadian tersebut dan menceritakan kronologinya kepada ketua
pelaksana (Ganjar Alaydrussani), dan tanggapan ketuapun mengiyakan “kalau ada
apa-apa dengan kambingnya akan diganti 100%”, acara meminta saran dan pelaporan
selesai dengan segera lalu saya meminta tolong salah satu peserta untuk membeli
arang aktif, sesuai instruksi dari Pembina kita memberikan arang aktif
tersebut, arang aktif tersebut juga berfungsi untuk menetralisir racun-racun
yang ada dalam tubuh, setelah diberikan
arang aktif kambing tersebut kembali lagi berjalan dan makan, kemudian saya
menyuruh dan meminta tolong kordes untuk berbicara kepada sang pemilik
menggunakan bahasa jawa “saat itu saya memang tidak bisa berbahasa jawa” kalau
ada apa-apa atau kambingnya mati kita akan menggantinya 100%.
Sang pemilik baru menceritakan
kalau kambingnya 3 minggu yang lalu baru melahirkan namun semua anaknya mati,
jadi secara normal kambing tersebut masih berada dalam masa menyusui
anak-anaknya, ditambah lagi kondisi kambing tersebut memang tidak sehat,
kambing tersebut mengalami ketidak normalan pada salah satu ambingnya, kami
memperkirakan kalau itu adalah sebuah tumor dan umur kambing tersebut sudah
sangat tua, yaitu brumur 4 tahun.
Acara pencekokan dengan tragedi
kejangnya kambing sang warga pun selesai, semua rombongan kembali dimobilisasi
ke basecamp. Sembari menunggu saudara
Ganjar dan Bagus (salah satu tim yang menjadi pembimbing), saya dan M.Denny
istirahat dan mencari makan dahulu karena waktu itu sudah siang dan hampir
menuju sore. Setalah mereka datang kita
pun menceritakan semua kronologinya, dan ternyata pasca saya melaporkan
kejadian kejangnya kambing warga tersebut membuat panik bagus dan ganjar yang
memang pada waktu yang bersamaan mereka juga sedang melakukan pencekokan di
desa yang lain.
Waktu pun telah sore kami berempat
pun pulang menuju rumahnya ganjar, karena kita berempat semua sudah kelaparan jadi kita putuskan setelah shalat
magrib untuk makan dirumah makan garang asam sari rasa, yang memang merupakan
salah satu makanan khas kota kudus.
Setelah makan beres kita melanjutkan perjalanan pulang ke rumah ganjar,
selama perjalanan ke rumah, kita berempat membicarakan tentang kambing
tersebut, sampai pada suatu ketika saya bertanya kepada ganjar “jar pejah
artinya apaan?,” karena memang itu bahasa jawa, dan ganjar dengan denny sedang
membahas “pejah”, kata ganjar artinya “mati”, saya Cuma bergurau dengan kata
pejah, karena saya yakin kambing tadi tidak akan mati.
Sekitar 5 menit setelah saya
menanyakan tentang arti dari kata pejah, sang kordes desa bulungkulon menelpon,
“mas kembing yang tadi mati”, tadi saya dikasih tau oleh pak kadus, dan pak
kadus meminta pertanggungjawaban kita”, ganjar hanya menjawab “ya sudah kita
bayar kambingnya”. Begitu sampai rumah
ganjar kita langsung kembali lagi ke desa bulungkulon, kita sampai rumah hanya
mengganti kendaraan saja, akhirnya kita menggunakan motor. Sekitar 15 menit kita sampai di TKP “karena
bawa motornya ngebut”, langsung kita semua (pembimbing lapangan, dan rombongan
peserta) mendatangi rumah pak kadus, dan disana menjadi tempat pertemuan antara
kita dengan sang pemilik, setelah terjadi percakapan yang cukup panjang baik
dengan pak kadus dan sang pemilik, ternyata kambing tersebut belum mati, pak
kadus hanya salah informasi, si kambing hanya terlihat lemas saja, namun pada
malam itu saudara ganjar memutuskan untuk membayar kambing tersebut, karena
berpikir takut sampai kambingnya mati itu akan berdampak pada kepercayaan, dan
akhirnya setelah terjadi perdebatan kita langsung mebayar sang kambing naas
tersebut, dan membawa kambing tersebut ke rumah ganjar, semua peserta disuruh
untuk pulang kembali ke basecamp.
Kita (Saya, ganjar, denny, dan
bagus) kembali pulang sambil membawa kambing betina naas. Banyak hal yang saya
lewatkan dalam prolog pengalaman saya tentatang masalah komunikasi tersebut,
intinya keseokan harinya kambing tersebut kejang-kejang kembali hampir sudah
tidak bernafas, sampai akhirnya kambing tersebut tewas di tangan sang jagal
jadi-jadian, dan setelah dibuka organ dalamnya memang sudah mengalami kerusakan
parah hati, jantung, lemak, usus nya sudah rusak “dalam hal ini saya tidak
menggunakan istilah kedokteran hewan biar mudah di mengerti, jadi saya gunakan
istilah “rusak saja”, dalam lambungnya pun terdapat plastic dan raffia karena
si kambing ini ternyata makannya sembarangan.
Dari cerita dan prolog pengalaman
tersebut yang ngaler-ngidul alias ga karuan saya dapat mengambil kesimpulan “
betapa pentingnya kita sebagai kaum intelek untuk berkomunikasi dengan baik,
dan mengetahui latar budaya, adat istiadat dari lawan komunikasi kita. Kita harus bisa memilih kata-kata umum yang
mudah dimengerti oleh khalayak banyak terutama masyarakat awam, yang memang
tidak mempunyai latar pendidikan seperti mahasiswa, isitilah-istilah ilmiah
yang biasa digunakan dikampus atau di bangku kuliah yang kita anggap keren, itu
sebaiknya tidak digunakan saat berkomunikasi denga kaum awam karena tidak
bermanfaat, dalam artian pemahaman untuk kata-kata tersebut, bisa dikatakan
asing untuk mereka, kita dapat menggunakan istilah-istilah asing apabila lawan
kita “sepadan” misalkan sesama mahasiswa.
Selama di bangku kuliah mungkin kita tidak pernah diajarkan bagaimana
cara berkomunikasi dilapangan, dan bagaiamana pemilihan kata-kata nya yang
dapat dicerna oleh kaum awam, kalaupun pernah itu hanya berapa persen, dan saya
yakin tidak lebih dari 5%, betapa jauhnya antara ilmu yang di dapat selama di
bangku kuliah, denga aplikasinya dilapangan.
Setelah saya mengikuti IGTF ini saya memiliki pengalaman ternyata “cukup
dengan istilah yang sangat sederhana saja masyarakat dapat mencerna apa yang
kita sampaikan” betapa pentingnya kita menyederhanakan kata-kata ilmiah menjadi
kata-kata yang ringan dan mudah dicerna oleh semua orang sebagai modal kita
berkomunikasi dengan masyarakat dalam mengaplikasikan ilmu-ilmu yang telah kita
peroleh di bangku kuliah, dan istilah tersebut saya sebut dengan “metode
yang tidak tertulis dalam literature”
Kesalah fatal dalam tragedy
tersebut adalah komunikasi yang kurang anatara mahasiswa dengan sang pemilik
kambing. Mahasiswa Hanya tidak menanyakan “kapan terakhir kambing ini bunting
dan menyusui..?”, itulah hal sepele yang bisa membuat kefatalan. Secara umum
dari tragedy ini saya bisa memetik 2 hal pokok mendasar yang harus kita miliki
sebagai mahasiswa yaitu : 1 kemampuan berkomunikasi dengan orang yang berbeda
latar serta kemampuan dalam mengubah atau mencari kata-kata yang sepadan dengan
kata-kata ilmiah menjadi kata-kata yang ringan dan dimengerti banyak orang, ke
2 pentingnya memperhatikan hal-hal kecil, dan jangan pernah menyepelekan
hal-hal kecil tersebut.
BERSAMBUNG KE IGTF
CHAPTER V………………………………….
0 komentar:
Post a Comment